Djoko Edhie: Dikdasmen Ala Nadiem: “The Blind & The Doubt”

Bayangkan rokok kretek itu anak didik. Bayangkan tukang jagal itu peserta didik. Anda mengubah mereka dengan formula rokok kretek dan pisau jagal. Lalu anda buat tabel berjudul Statistics Indeks Human Behavior dalam ukuran alpha. Signifikansinya pasti lebih 5%. Gagal!

Seperti itu ribetnya menyusun kurikulum. Kurikulum itu Formula, Formula itu Menu Utama. IT pendukung Menu. Sekarang mau dirombak oleh orang yang tak paham formula, cuma paham IT, sebatas aplikasi. Tapi kan bisa walau laksana The Doubt & The Blind?

Tak bisa! Walau kau pakai manajemen Kaplan, Weber dan filosofi Noam Chomsky. Soalnya, tak ada ilmu manajemen yang mengajar Headnya (leadnya).

Tapi baguslah, Ente sudah kasih bahan BLK walau nyaris semua sudah pernah saya dengar gymmicknya IT. Tapi perlu saya kemukakan, tak ada sistem tutorial komputer maupun AI di Indonesia mengganti guru. Sudah ditolak ide itu tahun 2000, seiring penolakan ahli AI di Carnegie Melon.

Ramalan sejenis Profesor Christensen itu juga telah muncul sejak generasi komputer 386, 486, Pentium 75, 100, Pentium Pro (Pentium 120). Saya mengikuti perkembangan itu, gimmicknya, sambil ngoprek. Tapi online pertama Pers di Indonesia, justru dibikin Dahlan Iskan, Jawa Pos, saya jadi wartawan di situ.

Dongeng kayak itu juga saya dengar membumbui komputer Newman di Silicon Valley sebelumnya, hingga IBM 400 di San Diego yang menggantikan mainframe. Dunia seolah akan berubah drastis oleh tukang Super Computer. Tak terjadi apa-apa tuh, dunia IT berjalan anteng, stabil, meningkat dan menggembirakan. Gymmicknya doang yang gegap gempita.

Menurut UUD 45, pendidikan untuk menciptakan kecerdasan dan orang beriman, bukan tukang. Bukan mencari kerja yang domainnya ekonomi. Tak bisa dikdasmen itu direvolusi. Kecuali Jokowi bikin revolusi sosial, bagian besarnya adalah merevolusi Dikdasmen. Revolusi sosialĀ  yang menerbitkan Revolusi Mental. Keras, konsisten, berresiko, untuk mengikuti metodologi revolusi sosial, seperti dilakukan guru Mao. Pasti Jokowi tak mampu.

Gojek membantu menampung naker ketimbang nganggur. Itu bukan soal pedagogi. Itu soal pertumbuhan ekonomi. Per 1 persen menyerap 400.000 naker. Pertumbuhan ekonomi 5 persen adalah 5 dikali 400.000 = 2.000.000 naker/ tahun. Jadi bukan soal kurikulum, apalagi celana cingkrang. Tapi soal Jokowi meroket yang gagal. Tapi kenapa Nadiem nyasar ke Dikbud? Dungu istilah Rocky Gerung.

Nadiem itu paradoks, tapi kaya raya berkat peras ojol. Tabungan ojol saja 20 persen sekitar Rp 1,4 M cash-in per hari.

Nadiem tak pernah sekolah di Indonesia. Ia sudah westernized. Ia dari keluarga non muslim, menikah di gereja, anak-anaknya juga dibaptis di gereja. Ia berhasil menembus sistem sosial di Amerika, sehingga ia jadi pengurus inti di Yayasan isterinya Bill Gates bersamaĀ  Sri Mulyani.

Kelihatan keren, tapi berbahaya. Yaitu menebar weternized dan sekularisme.(*)

[tsc]

Penulis:Ā Djoko Edhi S Abdurrahman,Ā Anggota Komisi Hukum DPR (periode 2004 – 2009), Advokat, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).