Dr. Kuntowijoyo: Radikalisasi Pancasila

Hilangnya Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial pasti karena pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Sila Ketuhanan hilang karena PKI menganut materialisme yang tidak percaya kepada Tuhan. Sila Kemanusiaan hilang karena PKI menganut kontradiksi kelas antara borjuasi dan buruh. Sila Persatuan hilang karena PKI menganut internasionalisme, bukan kebangsaan. Sila Kerakyatan hilang karena PKI menganut diktatorisme proletar, meski kata “rakyat” sepertinya adalah monopoli PKI. Sila Keadilan Sosial tidak diperlukan lagi karena PKI adalah representasi dari Keadilan Sosial itu sendiri.

Orla juga tidak koheren. Sila Kerakyatan tidak lagi diperlukan, karena Soekarno adalah “penyambung lidah rakyat”. Juga Demokrasi Terpimpin menyebabkan tidak diperlukannya sila Kerakyatan. Atau, Pancasila tidak lagi koheren, sebab sila kerakyatan sudah menjadi sila Kedaulatan Pemimpin.

Karena tidak konsisten dan tidak koheren itulah maka Orla juga tidak koresponden, ideologi teoretis dalam Pancasila berbeda dengan praktik politik. Misalnya, Orla membiarkan PKI tumbuh subur di Indonesia yang berdasar Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan. Sedangkan PKI sebagai kekuatan politik, jelas-jelas tidak berketuhanan.

PSI dan Masjumi dilarang, berarti tidak ada kesesuaian antara sila Kerakyatan dengan realitas politik. Juga saat ada Manifes Kebudayaan pada tahun 1963. Orla melarangnya, padahal Manifes itu jelas cerminan langsung sila Kemanusiaan dengan cita-cita humanisme universalnya dan mendukung Pancasila tanpa reserve.

Penyelewengan zaman Orla adalah untuk kepentingan kekuasaan Soekarno pribadi. Penyelewengan itu adalah karena desakan PKI yang dipersangkakan oleh Presiden amat kuat. Penyelewengan Orla bersifat simbolis, kecuali Demokrasi Terpimpin dan dibolehkannya PKI.

Berbeda dengan itu, penyelewengan Orba semuanya bersifat substantif, kecuali penyelewengan sila Ketuhanan. Penyelewengan yang substantif itu berupa inkorespondensi, yaitu ketidaksesuaian antara ideologi dengan kenyataan. Penyelewengan itu tidak mencolok di mata rakyat kebanyakan, hanya warga negara yang kritis yang benar-benar sadar akan penyelewengan Orba.

Inkorespondensi itu terletak dalam beberapa hal, yaitu sila Keadilan Sosial diganti dengan kapitalisme, sila Kerakyatan dengan otoritarianisme, sila Persatuan dengan militerisme, sila Kemanusiaan dengan kekerasan politik. Hanya sila Ketuhanan yang tak tersentuh substansinya; ada rekayasa khotbah tetapi hanya bersifat prosedural. Prosedur itu di antaranya ialah direkrutnya beberapa organisasi dakwah ke dalam partai pemerintah, pengawasan terhadap khatib, dan sejumlah peraturan yang menghambat dakwah.

Digantikannya sila Keadilan Sosial oleh kapitalisme yang melanggar Pasal 33 UUD 1945 itu tampak dalam banyak hal, seperti Pembangunan Nasional at all cost, pembentukan kroni di sekitar presiden, maraknya konglomerasi, suburnya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), pemberian HPH (hak pengusahaan hutan) kepada para konglomerat, kontrak-kontrak karya (ingrat Freeport dan Busang) kepada perusahaan asing yang penuh persekongkolan, dan pemberian monopoli dan monopsoni kepada kroni-kroni Soeharto (pengapalan minyak dan gas, perniagaan cengkeh, minuman keras, berbagai tender), dan penerbitan Keppres untuk memperkaya keluarga presiden.

Digantikannya sila Kerakyatan oleh otoritarianisme itu tampak dalam beberapa hal, seperti adanya monoloyalitas bagi PNS, lumpuhnya MPR/DPR, intervensi yang kelewat batas pada institusi pengadilan, tuduhan PKI, tuduhan anti-Pancasila, stigmatisasi ekstrem kanan dan ekstrem kiri, tuduhan DI/TII, dan tuduhan “mendirikan negara Islam”.