Dr. Syahganda Nainggolan: Anies Baswedan Sang Pahlawan Orang Tertindas

Ketika mayoritas elite berkuasa di Indonesia adalah bagian oligarki kapitalis alias orang kaya, maka  mengharapkan adanya pahlawan untuk rakyat jauh panggang dari api. Oligarki kapitalis ini bukan lagi sekadar pemodal di belakang layar, seperti satu dekade lalu, tapi sekarang tampil langsung menjadi penguasa.

 

Lalu bagaimana rakyat miskin bisa mempunyai pahlawannya?

Untuk itulah kita secara jeli melihat pemimpin yang terhubung dengan kepentingan rakyat. Dalam hal tulisan ini kita kaitkan Anies Baswedan.

Mempertimbangkan Anies karena dua hal, pertama, skala kekuasaannya. Kedua, karirnya ke depan. Skala kekuasaannya yang tunggal, melingkupi penduduk dua kali New Zealand atau Denmark secara solid (tidak seperti provinsi lain), serta skala ekonomi yang dikendalikan membuat ukuran kekuasan Anies sangat besar. Sementara itu karir Anies untuk menjadi presiden ke depan sangat terbuka. Berbagai survei menunjukkan Anies jauh di atas Prabowo untuk capres mendatang.

Apakah Anies bisa disebut pahlawan? atau sekadar penguasa yang baik?

Pahlawan adalah pilihan politik mengandung resiko, baik dinista, dihina, maupun diruntuhkan. Sedangkan penguasa yang baik cukup dengan menjalankan agenda-agenda standar dan “governance”.

Ridwan Saidi, tokoh budayawan dan Betawi yang sangat senior, beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa Anies sedang berjuang dalam politik geografis-demografis. Penghentian reklamasi Jakarta, menurutnya, dilakukan Anies agar keseimbangan penguasaan teluk Jakarta dan komposisi penduduk yang mendiami daerah itu seimbang antara Pribumi dan Non Pribumi. Menurutnya, politik seperti ini langka dan hanya ditemukan pada sosok yang dalam nilai perjuangannya bagi bangsa kita. Jadi, dari sisi ini Anies bukan sekedar ingin berkuasa.

Tentu saja konsep politik Anies juga banyak yang mendasarkan kebijakannnya pada pilihan ideologis. Pilihan ideologis maksudnya adalah mengutamakan orang-orang miskin. Dalam merestorasi kampung bersejarah yang dihancurkan di masa Gubernur lalu, seperti Kampung Aquarium, Anies bukan saja akan merestorasi tempat bersejarah, seperti makam bersejarah Luar Batang, tapi juga perkampungan penduduknya.

Secara keseluruhan, konsep Anies diibaratkan “elevator” dalam menjelaskan mobilisasi vertikal masyarakat. Orang-orang kaya dapat tetap naik menjadi kaya, namun orang-orang miskin harus ikut menjadi kaya. Membangun infrastruktur, misalnya dapat menguntungkan kedua kelompok, kaya dan miskin. Namun, membagi porsi infrastruktur agar menjadi alat produksi orang miskin, seperti memberdayakan bagian trotoar buat PKL, secara “manageable”, bukanlah konsep biasa, melainkan sebuah konsep ideologis, sebuah pemihakan.

Menurut Jeffrey Sach, pakar kemiskinan dunia, memberi kaya orang miskin harus dilakukan dengan dua hal, pertama “memberi pancing”, kedua, memberi juga ikannya. Anies sebagaimana Sach memberi pancing atau kail ketika membuka akses rakyat miskin pada aset atau kapital, dan sekaligus memberi “ikan” nya melalui berbagai program subsidi. Pikiran Jeffrey Sach ini, di Indonesia, hanya bisa dijalankan Anies Baswedan. Kenapa? karena dia tidak menjadi bagian oligarki kapitalis yang mencengkram semua lini kekuasaan saat ini.