Dr. Syahganda Nainggolan: Kebangkitan Islam Indonesia

Sehingga besarnya pengelompokan “kaum nasionalis” bukan seperti di masa lalu,  yang berhimpun dalam sebuah narasi besar perjuangan mereka.

Sebuah ideologi besar hanya akan mampu bertahan maupun berkembang jika ideologi tersebut memberikan harapan pada isu-isu keadilan sosial (shared prosperity),  mengutamakan kedaulatan rakyat dan kesempatan kerja bagi rakyat miskin.

Islam, saat ini, menjadi satu-satunya fakta sosial yang digandrungi kelompok-kelompok sosial sebagai alat pembebasan,  baik sebagai identitas terkait eksistensi dan kepercayaan diri,  maupun jalan untuk menerima sistem solidaritas sosial.

Gerakan Islam vs Oligarki

Direktur dari salah satu perusahaan sawit terbesar di Indonesia telah menemui saya sebanyak tiga kali, ketika beberapa waktu lalu terjadi perang wacana antara Amin Rais vs Luhut Panjaitan terkait sertifikasi tanah vs. Landreform.

Amin menuduh bahwa rezim Jokowi telah berbohong soal rencana Landreform (reformasi agraria) karena sertifikasi lahan bukanlah landreform.

Landreform harusnya mengambil tanah-tanah konglomerat perkebunan, hutan dan tambang untuk dibagikan kepada orang-orang miskin. Di antara perang wacana ini,  direktur tadi, yang juga teman saya seangkatan di ITB, mewakili pemiliknya,  ingin mendiskusikan keterlibatan perusahaannya dalam Landreform yang sesungguhnya.

Dalam konteks tulisan ini, menariknya direktur tersebut sudah mempunyai konsep detail yang akan ditawarkan, namun mereka bingung kepada siapa sesungguhnya “deal” reformasi ini dilakukan.

Lalu saya menanyakan kenapa mereka tidak menyelesaikan hal itu kepada rezim yang berkuasa?

Jawabnya, mereka justru mencemaskan masa depan usaha  mereka pada “gerakan 212”.

Fenomena ini merupakan fenomena serupa ketika Anies Baswedan, yang kemenangannya di Jakarta atas “restu” Imam Gerakan 212, mencemaskan taipan properti tentang dominasi bisnis mereka di Jakarta saat ini,  khususnya terkait Reklamasi Jakarta.

Dilihat dari sisi ini, sesungguhnya pandangan Hadiz bahwa gerakan Islam di Indonesia kurang berhasil dibandingkan di Turki dan Mesir, tidak sepenuhnya benar. Sebab,  posisi kekuatan Islam di Indonesia saat ini justru berhasil memaksa oligarki pemilik modal merundingkan kesejahteraan bersama bangsa kita,  sebuah kegagalan dari kaum kiri,  komunis, sosialis dan nasionalis.

Meskipun pertarungan ini terus berlangsung,  namun konsolidasi umat Islam terus mampu mengimbangi konsolidasi dan serangan kaum pemilik modal, baik secara langsung, maupun melalui institusi negara.

Tantangan ke Depan 

Melihat fenomena sosial yang ada lima tahun terakhir ini, khususnya hingga pilpres, dua kekuatan besar bangsa kita hanya terletak pada kebangkitan ummat Islam,  yang mengusung tema keadilan sosial di satu sisi,  dan kekuatan kapitalis lokal, khususnya konglomerat China,  yang mengusung tema kelangsungan dominasi.

Pihak ketiga biasanya mengambil posisi melengkapi dua kekuatan besar yang ada.

Pihak Islam telah melakukan konsolidasi massa besar besaran selama pilpres, sebaliknya kekuatan kapitalis mencengkram dalam via negara. Dan kelihatannya kekuatan ini berimbang.

Pada tahun-tahun awal kemerdekaan kita, situasi sangat mirip, pihak Islam (dulu NU di dalamnya) berhadapan dengan kekuatan nasionalis. Berbagai figur negarawan mencoba mencari jalan tengah bagi keberlangsungan Indonesia.

Pada situasi sekarang, belum muncul figur-figur yang berpikir bukan “zero sum game”,  yang dominan adalah figur-figur “the winner takes all” yang haus kekuasaan, sehingga “road map” Indonesia di masa lalu kelihatannya akan menjadi jalan buntu, yang berkepanjangan.

Dengan demikian masih sulit memprediksi arah politik Indonesia ke depan.

 

Penutup

Kebangkitan Islam di Indonesia merupakan fakta sosial. Melakukan pendekatan keamanan di manapun di dunia tidak ada yang berhasil.