Dr. Syahganda Nainggolan: Vaarwel Atjehers

Referendum ini kenapa akan memerdekaan Aceh, karena Aceh selama 15 tahun ini sudah terlihat dikendalikan kepemimpinan eks Gerakan Aceh Merdeka. Kedua, rakyat Aceh melihat secara nyata kepemimpinan rejim di Jakarta “dishonest” alias tidak dapat dipercaya. Khususnya karena dua hal, 1) pemilu berlangsung tidak jujur. 2) pembangunan yang berlangsung memperangkap Indonesia dalam hutang yang akan menghantarkan bangsa kita seperti negara Afrika.

*Penutup*

Pada tahun 1993, dalam World Islamic Conference on Bosnia, di University of London, London, yang diselenggarakan Khalim Siddiqui, saya yang hadir volunteer, mencari2 orang Indonesia. Ketika saya bertemu diantara kerumunan manusia dari berbagai bangsa2 Islam ada kelompok berwajah Indonesia, saya langsung senang, menghampiri mereka, berkenalan. “Hallo, saya Syahganda, dari Indonesia. Salam kenal”, kataku. Namun dengan ketus mereka berkata, ” Kami bukan dari Indonesia, kami dari Aceh”, katanya acuh. Hatiku perih, karena baru faham politik Indonesia tidak gampang.

Saat ini Bangsa Indonesia memasuki tahap penting dalam sejarahnya. Pertama, generasi penuh kebijaksanaan dan wawasan kenegaraan sudah punah. Sebagian generasi tua umur 70an juga sudah ikut dalam pembelahan politik berbasis kekuasaan “an sich.”

Kedua, kekayaan Indonesia hanya digerus segelintir orang, yang tidak mewakili kepentingan Bangsa Aceh dan bangsa2 pribumi lainnya. Ini sudah berlangsung puluhan tahun dalam arah yang sama, semakin menenggelamkan rakyat miskin. Yang kaya menjadi konglomerat, yang miskin akan punah.

Ketiga, Indonesia di arahkan menjadi bagian dari strategi China Raya alias OBOR (On Belt On Road) atau Belt and Road Initiative tanpa referendum. Padahal berbagai kejadian di Afrika (Zimbabwe), Bangladesh, Pakistan dll, yang masuk program OBOR terperangkap pada jeratan hutang, bangkrut lalu disita RRC.

Dari ketiga hal di atas kecil kemungkinan Aceh mengurungkan niatnya untuk berpisah. Situasi politik terkini yang penuh pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) dan anti-demokrasi, menjadi pemicu keinginan Aceh tersebut.

Saya akan kehilangan lembaga Sabang-Merauke Circle jika Aceh merdeka. Tapi saya tetap berdoa Aceh tetap bersama Indonesia. Sehingga saya tidak perlu berucap dalam bahasa Belanda “Vaarwel Atjehers” (Selamat Berpisah Rakyat Aceh). (*)

*Penulis: Dr. Syahganda Nainggolan (Direktur Sabang Merauke Circle)

(sumber)