Dua Tokoh Oposisi Bertemu di Malam Penuh Ampunan

Kenyataan yang terjadi saat ini adalah kebijakan represif penguasa, yang bukan saja membungkam dan menyebarkan rasa takut yang mendalam pada masyarakat.

Lebih fundamental dari itu, yaitu hancurnya nilai-nilai yang berlaku umum di dalam kehidupan manusia.

Yang terjadi saat ini misalnya, munculnya sikap yang apologetik terhadap bentuk-bentuk kekerasan. Begitu juga dengan kriminalisasi terhadap orang-orang yang dianggap kritis dan berseberangan dengan kekuasaan.

Sikap yang apologetik terhadap upaya penyingkiran orang-orang yang punya integritas di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kita bisa melihat bagaimana sebagian orang yang seharusnya berperan sebagai cendekia, tetapi karena pro penguasa membiarkan revisi UU KPK dan RUU Omnibus Law Cipta Kerja diloloskan.

Padahal nyatanya mayoritas rakyat Indonesia menolaknya. Hanya karena mereka melihat bahwa yang menentang RUU itu adalah orang kritis yang berseberangan dengan penguasa.

Hak setiap warga warga negara untuk terlibat aktif pada penyusunan suatu RUU. Tetapi stigmasisasi oposisi digunakan untuk memberi label “melawan pemerintah” kepada orang-orang atau kelompok yang mengkritisi RUU kebijakan pemerintah.

Semestinya hak warga negara itu tidak ada urusannya dengan menjadi oposisi atau pro penguasa. Sebab pemerintah hanya perpanjangan tangan dari kepentingan oligarki licik, picik, tamak dan culas. Tidak lebih.

Juga ketika karangan bunga dipertontonkan untuk merayakan terbunuhnya enam anggota laskar Front Pembela islam (FPI) di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek.

Dalam bahasa Rocky Gerung, bunga ini merayakan kehancuran Indonesia. Ini merupakan apologetik atas perbuatan yang melanggar hak Asasi Manusia (HAM), yang semestinya menjadi nilai universal yang dipegang teguh oleh siapapun dia.

Terbaru adalah banyak kalangan yang diam ketika KPK sedang dijinakkan melalui upaya menyingkirkan orang-orang yang selama ini dikenal publik memiliki integritas yang tidak diragukan lagi.

DPR sebagai lembaga yang menjadi andalan rakyat untuk mengawasi jalannya pemerintahan, justru makin jauh dari harapan rakyat. DPR menunjukkan sikap apologetik atas upaya pelemahan pemberantasan korupsi.