Dua Tokoh Oposisi Bertemu di Malam Penuh Ampunan

Pertemuan dua tokoh oposisi ini, ke depannya menuntut keterlibatan masyarakat lebih luas terhadap masalah besar bangsa saat ini.

Bagaimana saling menunjukkan perasaan yang muncul di masyarakat (afeksi). Sebab afeksi memicu ingin turut andil atau melibatkan diri keluar dari masalah yang dihadapi.

Diperlukan suatu “rumah bersama” untuk saling urun rembug membicarakan berbagi empati, bahwa rakyat merasakan senasib dan sepenanggungan.

Jalinan empati masyarakat akan semakin solid dan dapat menumbuhkan kolaborasi dalam jejaring sosial yang menuntut perubahan mendasar karena diikat oleh “sense of belonging”.

Faktanya hari ini tahap afeksi ini sudah sampai pada tahap empati yang kini terus berjalan. Salah satu contohnya, urunan pengumpulan uang untuk membeli kapal selam.

Jangan dilihat nominalnya, tetapi itu sebagai tanda bahwa rasa empati di lapisan masyarakat tak akan surut. Begini pola masyarakat dalam  membangun kekuatan.

Pola ini memungkinkan potensial atas kehirauan kepada masalah-masalah kenegaraan yang lebih mendasar.

Melalui proses inilah, solusi untuk menyelamatkan Indonesia dapat disusun secara komprehensif.

Karena itu, perlu keterlibatan berbagai kalangan, yang dalam tulisan bang Tamsil Linrung dikatakan sebagai “Mendorong Rekonsiliasi”.

Para tokoh nasional, akademisi, purnawirawan, profesional, mahasiswa, emak-emak, buruh, petani harus terlibat dalam satu gagasan besar menyelamatkan Indonesia.

Pemimpin sejati tidak akan diam menonton penderitaan yang mendera rakyatnya. Dia harus menjadi inspirasi bagi suatu gagasan besar demi memperbaiki bangsanya, negerinya, dan peradaban manusia.

Menyambut malam penuh ampunan ini, mereka telah menghidupkan mesin perubahan itu. Mesin yang menanti digerakkan orang-orang muda.

Penulis adalah Komite Eksekutif Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). [FNN]