Eros Djarot: Meredupnya Kewibawaan Negara

Dari keramaian di jalan, di media massa, dan di balik jutaan pintu rumah penduduk, semakin ramai yang mengeluhkan ketidaktegasan dan ketidakjelasan arahan dan sikap pemerintah. Pak Jokowi yang sempat menjadi super darling-nya media massa dan massa rakyat, belakangan mulai sepi pujian dan mulai redup sinar keemasannya. Sekarang sudah bukan para pembantunya lagi yang dihujani tudingan minus, tapi sudah mulai langsung kepada sosok pemimpin yang memilih para pembantu tersebut.

Ditambah lagi semakin nyaringnya pembicaraan adanya super minister yang wilayah komando dan kekuasaan eksekusinya melebihi institusi negara dan bahkan presiden sendiri. Kalau dulu setiap jelang lebaran yang digunjingkan adalah masalah impor daging dan beras, jelang lebaran kali ini yang ramai digunjingkan adalah ‘impor’ pekerja China yang setiap hari membanjiri NKRI. Sementara isu THR yang mencuat bersamaan dengan ancaman luapan pengangguran pasca lebaran, menambah suasana limbung yang terasa mulai memicu hawa panas. Pada gilirannya akan meningkat menjadi ancaman yang cukup serius.

Di tengah carut marut ini, institusi resmi pemerintah malah menyelenggarakan malam dana menarik uang dari masyarakat. Bahkan institusi yang seharusnya mengurusi dan merumuskan masalah ideologi negara pun ikut serta meramaikan. Sebuah motor yang dibubuhi tanda tangan Presiden Jokowi pun berhasil menggaet dana sebesar dua setengah miliar rupiah sendiri. Ditutup dengan seluruh petinggi institusi negara bernyanyi. Suara sumbang pun mengakhiri perhelatan yang membuat rakyat bertanya-tanya; inikah salah satu terobosan yang dianggap berarti? Untung saja penampilan Ketua MPR Bambang Suesatyo cukup simpatik.

Untuk para artis pendukung acara, memang perlu diberikan apresiasi karena layak dan sebatas itulah kemampuan dan wilayah kekuasaan dan penguasaan yang mereka miliki. Dan mereka memberinya dengan sepenuh hati. Sementara kepada para petinggi negara; akan lebih banyak manfaatnya untuk negeri ini bila mereka mau merenung sejenak, berkontemplasi, dan bertanya; apa iya rakyat jadi tergerak menyaksikan penampilan mereka dengan kadar dan mutu yang memprihatinkan itu? Atau ada acara lain yang lebih membuat rakyat bangun dan bergerak sesuai arahan mereka?

Mungkin yang rakyat tunggu bukan nyanyi-nyanyi bareng maupun tanda tangan presiden di sebuah motor yang bakal dilelang. Rakyat menanti tanda tangan seorang presiden yang sepenuhnya berpihak kepada kepentingan rakyat. Baik lewat undang-undang yang ia tandatangani; maupun peraturan dan arahan yang jelas, tegas, dan memberi arahan yang solutif dan mencerahkan kehidupan rakyat.

Bila keadaan tanpa kejelasan ini terus berlanjut, erosi kewibawaan pemerintah dan negara pun akan semakin membesar. Gejalanya sudah mulai terasa dan mulai bermunculan di permukaan. Para pendukung setia pemerintahan Jokowi jilid satu, pada era kepemimpinan jilid dua, banyak yang mulai hijrah ke garis tengah (netral) bahkan sebagian memilih jalan ke arah yang berlawanan.

Diperlukan pengendalian gerak masyarakat yang jelas dan terarah. Sementara kapten kapal (NKRI) berikut seluruh nakhodanya, harus kembali mengendalikan kemudi sesuai petunjuk kompas (Pancasila-UUD’45) sebagai arah tujuan.

Bila keadaan ‘chaos’ aturan dan peraturan dibiarkan terus berlanjut, kewibawaan Negara dan Pemerintah, niscaya akan meredup. Nah, ketika negara dirasakan tidak hadir oleh rakyatnya, maka rakyat akan mengatur dirinya sendiri (anarkis). Dan ketika gelombang keresahan rakyat membesar, biasanya pergantian pemimpin menjadi tuntutan! Semoga tak terjadi. (*)

Penulis: Eros Djarot, Budayawan