Generasi Lansia VS Generasi Milenial Menuju Pilpres 2019

Demikian juga kita cermati usia masing-masing Ketua Tim KamNas kedua kubu. Erick Thohir 48 tahun, dan Joko Santoso 65 tahun. Terpaut 17 tahun.

Gap usia yang panjang ini 17 – 19 tahun, memperjelas kepada kita, bahwa sedang terjadi kombinasi antar generasi. Disamping ingin mendulang suara dari Genial tetapi juga tidak meninggalkan Gesia.

Jika dilihat head to head Cawapres, jelas sedang terjadi pertarungan Genial dengan Gesia. Demikian juga penunjukan Ketua Tim KamNas, head to head antar Genial dengan Gesia.

JOIN, PADI, Partai dan Pegusaha

Pengamatan kita kebijakan Jokowi menjadikan Ma’ruf Amin mendampingi beliau sebagai Cawapres, disamping rentang usia yang jauh merupakan suatu fenomena yang menarik.

Demikian juga pengangkatan Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional bukan politisi juga sesuatu yang menarik untuk dicermati.

Ma’ruf Amin (MA), adalah Gesia dengan latar belakang Ulama dan sedang menjabat Ketua Umum MUI pada saat ditunjuk mendampingi Jokowi.

Merupakan strategi untuk mengambil hati Umat Islam dan para Ulama atas stigma yang distempelkan pada kening Pak Jokowi yaitu “tidak melindungi Ulama dan tidak membela Umat Islam”.

Contohnya antara lain sikap membela Ahok yang menista agama dan dijatuhi vonis oleh pengadilan. Persoalan Habieb Rizieq yang membiarkan Polisi “merontokkannya” dengan kasus “moral” dan sampai hari ini belum “berani” kembali ke Indonesia dan bermukim di Saudi Arabia. Walapun kasusnya sudah di SP3.

Ada yang menduga, Jokowi sudah masuk perangkap Batman. Karena Ijma Ulama sudah mengusung Prabowo sebagai Capres, dan Habib Salim Segaf dan Ustadz Abdul Somad sebagai cawapres.

Kalau UAS bersedia sudah dapat diramalkan Genial dan Gesia muslim akan mendukung PUAS (Prabowo – UAS).

Pengusung Jokowi (6 partai) berhitung bahwa MA dianggap figure yang dapat mengerem arus besar Ummat Islam. Jika UAS mau jadi Cawapres, sudah dapat diduga bahwa Ummat Islam akan terbelah.

Mungkin itu juga yang menyebabkan UAS tidak berkenan “biarlah saya berjalan dijalur Dakwah saja”. Beda jawaban MA sang Ketua Umum MUI saat ditawarkan Jokowi langsung menerima. Alhamdulillah.

Penetapan MA sebagai Cawapres Jokowi tentu dengan perhitungan kondisi internal dan eksternal. Para pengamat politik memberikan analisis, setidak-tidaknya ada 4 alasan.

Pertama; MA bukanlah berasal dari salah satu unsur partai pengusung Jokowi. Walapun lebih dekat dengan PKB dan peran loby Ketum PKB yang dapat meyakinkan Jokowi dan Ketum lima partai lainnya.
Langkah ini dilakukan untuk menghindari kecemburuan atau un-happy-nya partai yang dari awal sudah mengusung Cawapresnya seperti PKB dan Golkar.

Kedua, dengan usia MA yang uzur (Gesia), tentu tidak berpeluang lagi jadi Capres 2023, karena sudah berusia 80 tahun. Peluang terbuka lebar pada Ketum-Ketum Partai pengusung yang relatif masih lebih muda seperti Muhaimin Iskandar, Airlangga, dan juga bisa jadi Puan Maharani, sebagai bentuk balas budi Jokowi pada PDI-P.

Mereka ini boleh dikatakan masuk Genial transisi yang sudah matang di dunia politik.

Ketiga, MA adalah Ulama, Ketua MUI, dan Rais’aam Syuriah NU, diharapkan dapat “mengkondisikan” simpati Ummat Islam terhadap paket JOIN (Joko Widodo – Ma’ruf Amin), untuk melupakan langkah-langkah Jokowi yang lalu yang di “nilai” merugikan Ummat dan “mengkriminalisasikan” Ulama.

Ingat, bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan mudah melupakan kesalahan masa lalu.

Jokowi sudah menunjukkan itu termasuk Prabowo (mengambil Sudirman Said dan Anies Baswedan yang sebelumnya Jurkam Jokowi dan jadi Menteri, kemudian diberhentikan).