Habib Bahar dan Said Didu, Dua Ikon Perlawanan Baru

Tidak begitu halnya dengan penjajah internal. Walaupun, kata orang, hanya berstatus sebagai ‘proxy’ saja. Yang berposisi ‘kalian’ dalam konteks penjajah-terjajah internal, adalah mereka yang sama dan sebangun dengan ‘kami’. Seayah-seibu secara fisik dan sosial-budaya.

Itulah sebabnya, di dalam episod gerakan pembebasan kali ini, ‘kami’ tidak sedang berusaha mengusir dan menghancurkan ‘kalian’. Tidak etis. Yang tepat adalah ‘to neutralize’ (menetralkan). Menetralkan adalah ‘melumpuhkan’. Setelah kekuatan jahat itu lumpuh, Anda bisa melakukan langkah-langkah pemulihan kedaulatan rakyat. Plus penegakan keadilan.

Terus, mana lebih kuat: penjajah internal atau gerakan perlawanan? Penjajah internal itu lahir dari proses rekayasa. Mereka tidak kokoh. Cuma memang ‘kekeuh’. Sedangkan gerakan perlawanan lahir dari proses seleksi alam. Kalau dipinjam terminologi medis, gerakan perlawanan itu memiliki ‘antibody asli’ yang terbentuk untuk menang. Bukan untuk kalah.

Bahar dan Said adalah dua ‘rallying point’ yang natural. Mereka menyimpan banyak potensi. Bukan mereka yang memilih jalan gerakan perlawanan itu. Melainkan alamlah yang menggiring mereka ke arah itu.

Sebaliknya, penjajah internal dipilihkan jalannya oleh proses fabrikasi yang di dalamnya berkumpul para designer dan programmer kepentingan kelompok kecil. Oligarki, kata orang. Mereka inilah yang menyutradarai penjajahan internal. Mereka hampir pasti berkolaborasi dengan kekuatan eksternal. Sesuatu yang rasional.

Tapi, jangan lupa. Meskipun lahir dari proses fabrikasi, penjajah internal itu memiliki specs yang mampu memperdaya publik. Mereka memiliki ‘casing’ yang bagus. Banyak yang tergila-gila menjadi pengikut. Akibat ketidaktahuan mereka. Atau, akibat terlalu mudah membuang akal sehat.

Jadi, silakan simak apakah Bahar dan Said akan terbentuk menjadi dua ‘rallying point’ yang baru. Lihat pula siapa-siapa yang akan terpilah mengikuti gerombolan penjajah internal. Dan siapa-siapa yang beruntung terhimpun ke dalam gelombang perlawanan natural. (*end)

Penulis: Asyari Usman