Hersubeno Arief: Ada Apa dengan Habibie dan Putra-Putri Pak Harto?

Sang pelaku utama, Pak Harto mengunci rapat-rapat mulutnya. Membawa misteri itu sampai ke liang lahat. Sikap yang sama juga dilakukan oleh putra-putrinya. Bahkan sampai Habibie wafat.

(Konsisten sampai akhir hayat)

Hubungan antara Habibie dan Pak Harto, bukan hanya antara seorang patron dan klien. Keduanya dihubungkan dengan kaitan tali temali personal yang jauh lebih lama. Sejak Habibie masih remaja belasan tahun. Soeharto menjadi perwira menengah TNI.

Pada tahun 1950 ketika berlangsung pemberontakan Andi Azis di Sulawesi Selatan. Sebagai Komandan Resimen Mataram, Letkol Soeharto ditugaskan memadamkan pemberontakan.

Di Kota Makassar Habibie tinggal persis berseberangan dengan markas Resimen Mataram. Barangkali karena ibu Habibie juga berasal dari Yogya, membuat mereka menjadi dekat. Rumah Habibie sering digunakan rapat oleh Letkol Soeharto dan stafnya.

Ketika Alwi Abdul Djalil, ayah Habibie wafat, Soeharto lah yang menutupkan matanya. Kakak Habibie juga menikah dengan Kapten Subono Mantofani anak buah Soeharto.

Kelak ketika Soeharto berkuasa, Subono menjadi salah satu orang kepercayaannya. Dia pernah menjadi Dirut Percetakan Uang Negara (Peruri).

Lama terpisah. Habibie merintis karir di industri penerbangan di Jerman. Soeharto menjadi penguasa Orde Baru. Karena kecemerlangannya, Habibie ditarik pulang ke Jakarta.

Seperti kita ketahui Habibie kemudian menjadi anak emas Soeharto. Karirnya terus menanjak sampai puncak.

Setelah menjadi Wapres, Habibie akhirnya menjadi presiden. Dia menggantikan Soeharto yang mengundurkan diri setelah 32 tahun berkuasa.

Mundurnya Soeharto dan naiknya Habibie inilah menjadi titik perpecahan keduanya.

Habibie berkali-kali mencoba menemui Soeharto. Baik mencoba berkomunikasi langsung, maupun melalui mediator. Namun tak pernah berhasil. Termasuk ketika Pak Harto koma di RS Pertamina, Jakarta.

Habibie saat itu tengah di Eropa menemani istrinya Ibu Ainun menjalani terapi. Dia memaksakan diri kembali ke Jakarta, hanya untuk bertemu Pak Harto. “Saya terbang jutaan kilometer, padahal Ibu Ainun sedang sakit,” ujar Habibie.

Lagi-lagi Habibie harus kecewa. Dia hanya ditemui Quraish Shihab yang selalu mendampingi Pak Harto. Dari balik kaca, Habibie dan istri berdoa untuk Pak Harto.

Dari berbagai upayanya berkomunikasi dengan Pak Harto, hanya sekali Habibie berhasil. Bicara melalui telefon. Itu pun hanya beberapa detik.

Sebagaimana diungkap Habibie, sehari setelah Pak Harto mengundurkan diri pada tanggal 21 Mei 1998, dia berhasil bicara melalui telefon. Pak Harto tetap menolak bertemu.

“Saya sudah tua. Laksanakan saja tugasmu dengan baik. Kita bertemu secara batin saja,” ucap Pak Harto sebagaimana ditulis Makmur Makka orang dekat Habibie dalam buku: Total Habibie, Kecil tapi Otak Semua.

Versi yang sedikit lebih panjang dituturkan Habibie ketika diwawancarai oleh Najwa Shihab. Menurutnya keputusan menolak bertemu, adalah demi kebaikan bangsa dan negara.

Dalam percakapan tersebut Pak Harto mengaku, setiap usai salat lima waktu selalu mendoakan agar Habibie sukses menjalankan tugas sebagai Presiden.

(Berbagai spekulasi)

Berbagai penjelasan Habibie itu tetap tidak menjawab pertanyaan utama. Mengapa Pak Harto menolak bertemu Habibie? Bahkan disaat-saat menjelang akhir hayatnya, sikap itu dilanjutkan oleh keluarga Cendana.

Sebegitu dalam kah, luka dan sakit hati yang ditorehkan Habibie?

Ada yang menghubung-hubungkan patah arangnya hubungan “bapak dan anak” ini disebabkan oleh beberapa faktor.

Pertama, Habibie dianggap mengkhianati Soeharto. Dia berada di belakang mundurnya 14 orang menteri, sehingga Pak Harto gagal melakukan reshufle kabinet. Akibatnya tak ada pilihan lain bagi Pak Harto, harus mengundurkan diri.

Kedua, harusnya ketika pak Harto mundur, maka Habibie juga ikut mengundurkan diri. Bukan malah mengambil-alih posisi sebagai Presiden.

Ketiga, sebagai orang yang dibesarkan Pak Harto, Habibie tidak memegang prinsip “mikul duwur, mendem jero.”

Menjunjung tinggi kehormatan dan mengubur dalam-dalam semua kesalahan orang tua sekaligus pendahulunya.

Sebagai Presiden Habibie dinilai tidak bisa mencegah MPR untuk membuat ketetapan pengusutan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) Soeharto dan keluarganya.

Benarkah?

Soal pengkhianatan, Habibie dan para menteri yang menolak masuk Kabinet Reformasi membantahnya.

Dalam buku yang juga ditulis Makmur Makka “Sidang Kabinet Terakhir Orde Baru: 12 Jam Sebelum Presiden Soeharto Mundur” Habibie memberi kesaksian. Dia tidak tahu menahu ada rencana penolakan 14 orang menteri. Apalagi terlibat dan menjadi mastermindnya.