Hersubeno Arief: Ada Apa dengan Habibie dan Putra-Putri Pak Harto?

Benar bahwa dari 14 orang menteri tersebut, beberapa orang diantaranya dikenal sebagai orang dekatnya.

Habibie mengakui mengetahuinya setelah mendapat telefon dari Ginanjar. Habibie juga tidak pernah membaca surat penolakan 14 orang tersebut.

Pernyataan Habibie dibenarkan oleh Ginanjar dalam buku yang sama.

Pada tanggal 20 Mei 1998 sebagai Menko Ekuin/Kepala Bappenas Ginanjar mengundang para menteri di bawah koordinasinya.

Semua hadir, kecuali tiga orang. Menhut Bob Hasan, Menkeu Fuad Bawazier dan Menteri Negara Lingkungan Hidup Juwono Sudarsono.

Mereka yang hadir adalah : Menteri Negara Perumahan dan pemukiman Akbar Tandjung, Menteri Transmigrasi dan PPH AM Hendropriyono, Ginanjar Kartasasmita, Menteri Perhubungan Giri Suseno, Meneg Pangan dan Hortikultura Haryanto Dhanutirto.

Menteri Pertanian Justika Baharsjah, Menteri Pertambangan Kuntoro Mangkusubroto, Menteri PU Rahmadi Bambang Sumadhijo, Menteri Negara Ristek Rahardi Ramelan, Menteri Koperasi dan PPK Subiakto Tjakrawerdaya, Menteri Negara Investasi dan BKPM Sunyoto Sastrowardoyo, Menteri Kehutanan Sumahadi, Menteri Tenaga Kerja Theo L Sambuaga, dan Menteri BUMN Tanri Abeng.

Dalam pertemuan tersebut disepakati, mereka menolak rencana Pak Harto untuk membentuk Kabinet Reformasi dan tidak bersedia bergabung. Alasannya situasi ekonomi sudah memburuk. Tidak mungkin diatasi dengan pembentukan kabinet baru.

Mereka membuat surat kepada Pak Harto. Akbar Tandjung yang membuat draft surat. Kemudian Ginanjar menitipkannya melalui Mbak Tutut putri Pak Harto yang menjabat sebagai Menteri Sosial. Mereka tak ada yang berani menyampaikan surat itu langsung ke Pak Harto.

Kalau menyimak penuturan Ginanjar, yang justru sangat berperan dua orang. Ginanjar dan Akbar.

“Bukan Habibie yang merekayasa. Bahkan akan mencegah saya. Meminta saya menahan surat itu, dan agar menarik surat itu,” ujar Ginanjar.

Mengapa Habibie tidak ikut mengundurkan diri bersama Pak Harto? Dalam wawancara dengan Andy F Noya pada program Kick Andy, dia menegaskan, sudah kewajiban baginya sebagai wakil untuk meneruskan kepemimpinan presiden yang mundur.

“Kalau presiden berhalangan, maka saya berkewajiban untuk melanjutkan perjuangan bangsa Indonesia, yang tercantum dalam ketetapan-ketetapan MPR,” tegasnya.

Setelah Soeharto lengser, MPR membuat Ketetapan Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Dalam Pasal 4 Tap MPR XI/MPR/1998 berisi perintah negara untuk melakukan penegakan hukum terhadap mantan Presiden Soeharto.

Munculnya TAP MPR ini sangat menyakitkan Pak Harto dan keluarganya. Sebagai Presiden, Habibie dianggap tidak menggunakan kekuasaannya mencegah lahirnya TAP ini.

Lebih menyakitkan lagi, sebagai mandataris MPR Habibie menjalankan TAP tersebut dengan memerintahkan Jaksa Agung Andi Ghalib memeriksa Pak Harto. Habibie tidak mikul duwur mendem jero.

Benarkah semua spekulasi itu?

Setelah Pak Harto dan Habibie wafat, tinggal keluarga besar Cendana yang sangat memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Semoga suatu hari, semuanya terbuka. Menghilangkan satu ganjalan dalam sejarah perjalanan bangsa.

Pak Harto dan Habibie sudah pergi meninggalkan kita. Menghadap Sang Khalik. Sang Maha Pencipta.

Lepas dari berbagai kesalahannya, dua-duanya akan dikenang sebagai presiden yang meninggalkan warisan (legacy) besar, bagi bangsa dan negara.

Manusia besar, juga manusia biasa. Mereka juga pernah berbuat khilaf dan salah.

Tugas kita mengenang dan belajar dari kebaikannya. Belajar dari kesalahannya. Bukan mencari-cari kesalahannya. End (*end)

Penulis: Hersubeno Arief, Wartawan Senior