Hersubeno Arief: “Bunuh Diri” Jurnalisme Harian Kompas

Apa boleh buat dengan kredo semacam itu pilihan hidup menjadi seorang wartawan mirip laku asketisme. Suatu gaya hidup bercirikan laku-tirakat atau berpantang kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang seringkali dilakukan untuk mencapai maksud-maksud rohani. Jadilah profesi wartawan itu mirip-mirip dengan ulama, pendeta, atau tokoh agama lainnya.

Semua prinsip-prinsip ideal itu saat ini ramai dipertanyakan. Apakah Kompas sudah bergeser idealismenya? Apakah petuah pendiri Kompas itu telah berubah menjadi slogan kosong yang tidak lagi berarti?

Pilihan Kompas tidak untuk menampilkan Reuni 212 di halaman muka menimbulkan pertanyaan, bahkan gugatan. Di medsos bergema seruan untuk memboikot Kompas, bahkan ada yang menyatakan langsung berhenti berlangganan.

Apakah Kompas menganggap peristiwa luar biasa itu bukan sebuah peristiwa penting? Tidak ada nilai beritanya? Atau Kompas sengaja “meniadakan” peristiwa itu karena adanya perbedaan kepentingan ideologi dan politik?

Halaman muka adalah etalase sekaligus kebijakan politik redaksi (Editorial policy). Apa yang dinilai penting dan tidak penting, bagaimana sikap dan penyikapan, serta pilihan politik redaksi, dapat terlihat dari halaman muka.

Secara bisnis (jualan) halaman muka diperuntukkan untuk berita yang diperkirakan akan dapat mengangkat tiras sebuah media. Di tengah terus menurunnya tiras media cetak, peristiwa di Monas tentu tak boleh dilewatkan begitu saja. Jutaan orang berkumpul di Monas rasanya terlalu naif, atau bodoh malahan, untuk diabaikan sebagai pasar yang bisa dibidik. Kecuali, Kompas memang sudah punya pilihan dan penyikapan politik yang berseberangan dengan Reuni 212.