Hersubeno Arief: “Bunuh Diri” Jurnalisme Harian Kompas

Kompas edisi Senin (3/12) ternyata memilih menurunkan berita utama tentang ancaman polusi sampah plastik. Berita Reuni 212 hanya ditempatkan di halaman 15 dengan porsi pemberitaan yang kecil. Halaman 15 atau halaman umum, adalah halaman sambungan dan berita lain yang tidak terlalu penting. Cukup asal ada saja.

Redaksi Kompas bisa berkilah bahwa setiap Senin mereka menyiapkan agenda setting. Sebuah pilihan atas topik-topik penting yang agendanya perlu didesakkan kepada publik. Topik semacam ini biasanya disiapkan jauh-jauh hari untuk menyiasati kekosongan berita pada akhir pekan. Sifatnya timeless, tidak mementingkan aktualitas. Bisa ditayangkan kapan saja.

Rasanya terlalu naif bila redaksi Kompas tidak mengetahui bahwa pada tanggal 2 Desember akan ada agenda tahunan Reuni 212. Secara jurnalistik peristiwa itu jelas merupakan peristiwa penting. Ada sekelompok, ribuan, bahkan jutaan orang berkumpul di Monas memperingati sebuah peristiwa bersejarah, Aksi 212. Sebuah peristiwa terbesar dalam sejarah protes massa yang pernah terjadi di Indonesia.

Ketika muncul gugatan terhadap Kompas, banyak yang membela dengan dalih kebebasan redaksi. Mereka bebas menentukan apa yang dimuat, dan apa yang tidak dimuat. Pertanyaannya? Kebebasan macam apa bila bertentangan dengan akal sehat dan prinsip-prinsip jurnalisme universal?

Ulama berpengaruh Abdullah Gymnastiar dalam program ILC menyatakan lepas dari afiliasi politik maupun agamanya, massa ini berkumpul menyuarakan ketidakadilan (perceive unjustice). Umat Islam menurut Aa Gym merasa sakit hatinya disebut radikal, intoleran, ingin memisahkan diri, anti NKRI dan berbagai stigma negatif lainnya.