Hersubeno Arief: Lippo, Bahaya Kartel Bisnis Kesehatan di Balik Kisruh BPJS

Pada awal tahun ini sejumlah RS yang melayani pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) tidak bisa meneruskan kerjasamanya dengan BPJS Kesehatan karena tidak lolos akreditasi. Namun keputusan tersebut dibatalkan, karena dampaknya pasien membludag di RS yang masih melayani program JKN.

Selain itu banyak juga RS yang mengalami kesulitan likuiditas karena pembayaran dari BPJS Kesehatan menunggak. Terlambatnya pembayaran dari BPJS membuat rumah sakit tidak bisa membayar obat, dokter, dan juga karyawannya. Banyak RS yang terancam bangkrut.

Seperti diakui oleh Dirut BPJS dr Fahmi Idris sampai akhir Oktober 2018, mereka memiliki utang yang jatuh tempo sebesar Rp 7.2 triliun. Sementara dana yang tersedia hanya Rp 154 miliar.

Presiden Jokowi sempat marah besar kepada Fahmi dan Menkes Nita F Moeloek karena BPJS selalu kekurangan dana, padahal pemerintah telah memberi dana bantuan sebesar Rp 4.9 triliun.

Kemarahan Jokowi ini sesungguhnya salah alamat. Masalah defisit anggaran BPJS ini terjadi karena jumlah iuran yang dibayarkan oleh peserta, jauh lebih kecil dibandingkan manfaat yang diperoleh. Selama hal ini tidak dibenahi, iuran tidak dinaikkan, maka BPJS akan selamanya defisit.

Berdasarkan UU nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional pasal 27 ayat 5, kewenangan untuk menaikkan iuran berada di tangan presiden. Bukan Menkes dan Dirut BPJS.

Dengan 200 juta pengguna, 93 juta peserta BPJS yang premi bulanannya dibayarkan pemerintah, dipastikan Jokowi tidak akan berani menaikkan iuran. Dampak elektoralnya menjelang Pilpres, akan sangat merugikan.

Kartel Kesehatan

 

Selain Siloam pemain besar RS adalah Kalbe Group (RS Mitra Keluarga), Sinar Mas Group (Eka hospital) dan RS Mayapada.