Hersubeno Arief: Para Purnawirawan Jenderal Menggugat Pengadilan Media

Dari laporan utama tersebut juga tampak Tempo mendapatkan pasokan informasi dari “orang dalam” karena mendapatkan detil proses pengiriman senjata, sampai penangkapan Soenarko.

Ada beberapa poin keberatan yang disampaikan para purnawirawan itu.

Pertama, istilah penyelundupan. Pengiriman senjata dari Aceh ke Jakarta, apalagi melalui jalur “resmi” —seperti penjelasan Radjasa— tidak bisa disebut sebagai penyelundupan.

“Penyelundupan itu berasal dari luar negeri. Ke dalam negeri,” tambah Suryo.

Menhan Ryamizard Ryacudu termasuk yang tidak sepakat dengan terminologi penyelundupan. Sebagai prajurit TNI yang kenyang dalam pertempuran, Ryamizard sangat tahu dalam operasi semacam itu ada senjata rampasan.

“Bukan senjata dari luar negeri. Itu senjata rampasan dari Aceh, Papua, dan Timtim,” kata Ryamizard.

Kedua, pengiriman senjata itu, seperti dikatakan Radjasa, sudah lama diminta oleh Soenarko. Setelah diperbaiki akan diserahkan ke museum Kopassus. Jadi bukan disiapkan untuk kerusuhan 22 Mei.

Ketiga, kalau memang benar Soenarko menyelundupkan senjata untuk membuat kerusuhan, maka jumlahnya bukan hanya satu. Seperti dikutip Tempo, Sunarko mendapat kiriman sepucuk M14, dua magasen, dan satu peredam. “ Kalau menyelundupkan jumlahnya ribuan. Seribu, dua ribu,” kata Suryo.

Keempat, senjata M14 itu usianya sudah sangat tua. Tidak lagi laik pakai. Zacky Anwar menyebut masa aktif sebuah senjata berkisar 10-20 tahun.

“Karena senjata, begitu dilewati 10 ribu hingga 20 ribu peluru, larasnya sudah aus, sudah non-standart, sudah under value, sudah tidak layak pakai bagi prajurit profesional,” katanya.

Senjata jenis M-16-A1 dan AR-15 banyak digunakan AS pada perang Vietnam 1957 dan perang di Indochina, serta Thailand Selatan. Senjata itu kemudian masuk ke Aceh. Jumlahnya ribuan.

Setelah Perdamaian di Aceh (2005) sebanyak 840 pucuk dimusnahkan sesuai perjanjian Helsinki. Namun warga banyak yang menyimpannya dan kemudian melalui berbagai pendekatan diserahkan kepada militer Indonesia. Salah satunya adalah senjata yang belakangan diributkan sebagai milik Soenarko.

“Usianya sekitar 30-35 tahun. Secara teknis itu senjata rongsokan,” tambah Zacky.

Kelima, Soenarko adalah jagoan tempur yang berpengalaman. Tuduhan bahwa dia akan membuat kerusuhan dengan menggunakan senjata rongsokan membuatnya menjadi seperti orang dungu. Itu sangat menghina.

Soenarko, kata Suryo, lulus terbaik dalam seleksi pasukan komando. Ketika Suryo menjadi Wakil Danrem Timtim, Soenarko menjadi Dandim Kota Dili. “Pos itu untuk orang pilihan.”

Untuk menjadi Pangdam Iskandar Muda di Aceh juga tidak mudah. Sebagai daerah konflik hanya orang-orang spesial yang bisa mendudukinya. Psikotesnya harus A plus. “ Seseorang bisa menjadi Pangdam I Iskandar Muda benar-benar pilihan. Most selected officer” tegas Zacky.

Soenarko bukan hanya jago tempur, tapi juga hebat dalam penggalangan. “Dia disayang oleh bekas musuh-musuhnya,” tambah Suryo.

Sebagai mantan militer dan orang Jawa kelahiran Medan, dia mempunyai posisi yang unik di partai lokal Aceh. Dia menjadi Dewan Pembina Partai Nanggroe Aceh.

“Semasa dia menjadi Pangdam Iskandar Muda, ulama keluar masuk kantor Kodam, seperti rumah sendiri,” tambah Zacky.

Keenam, senjata milik Soenarko, kata Soeryo, adalah jenis M16A1 l laras pendek. Beda dengan senjata M4 baru yang ditunjukkan Kapolri ke media. Senjata laras pendek tidak cocok digunakan oleh penembak jitu (sniper) yang akan membuat kerusuhan.

“Masak seorang Soenarko, Kopassus lagi, kemudian mau memberontak, dan yang lucunya kok menyelundupkan senjata hanya satu, ini masuk akal enggak ini, dan itu senjata busuk, itu senjata dimodifikasi,” tegas Yayat.

Dengan fakta-fakta tersebut para purnawirawan minta agar nama baik Soenarko dipulihkan.

Bagaimana media harus menyikapi kemarahan dan tuntutan itu?

Sebagai sebuah proses hukum, tentu kita kembalikan persoalannya dalam ranah hukum. Hanya pengadilan yang bisa memutuskan seseorang bersalah atau tidak.

Pengadilan oleh media, trial by press, jelas sangat terlarang. Dampaknya bisa jauh lebih serius dari vonis hakim itu sendiri. Dalam proses peradilan seseorang berhak menyampaikan pembelaan sebelum divonis.

Sementara dalam trial by the press media mengambilalih tugas dan hak seorang hakim. Seseorang sudah bersalah sebelum diadili. end