Hersubeno Arief: Payung Erotis Rezim Otoriter dan Kematian Gerakan Mahasiswa

Payung, dan sarung adalah paduan yang sempurna untuk mengalihkan fokus perhatian mahasiswa dari persoalan politik.

Junta militer di Myanmar mempunyai pengalaman dan sejarah panjang menghadapi gerakan unjukrasa dimotori mahasiswa. Berkuasa sejak tahun 1962 di bawah kendali Ne Win, seorang jenderal keturunan Cina, mereka berkali-kali berhasil mematahkan unjukrasa besar-besaran. Barangkali Kalau sekarang disebut sebagai people power.

Tak lama setelah berkuasa pada tahun 1962 Ne Win memadamkan aksi mahasiswa dengan jalan kekerasan. Salah satu pidatonya yang terkenal. “Jika demonstrasi ini dipakai untuk menantang kami. Maka kami akan hadapi pedang dengan pedang. Tombak dengan tombak,” tegasnya.

Pengunjukrasa digilas habis. Kampus-kampus ditutup selama 2 tahun. Pada tahun 1965, 1968, 1974, dan 1975 Myanmar saat masih bernama Burma diguncang berbagai unjukrasa besar. Puncaknya terjadi pada tahun 1988 atau lebih dikenal sebagai pemberontakan 8-8-88 karena terjadi pada tanggal 8 Agustus 1988.

Ne Win kembali menghadapinya dengan keras. Dia memperingatkan para demonstran bahwa militer Burma tidak punya kebiasaan menembak ke udara. Tak lama setelah pemberontakan dipadamkan, Ne Win mengundurkan diri. Namun dibalik layar dia tetap berkuasa selama 10 tahun berikutnya.

Tradisi berasyik masyuk di balik payung masih terus berlangsung hingga saat ini. Rezim militer berbagi kekuasaan dengan rezim sipil pimpinan Aung San Suu Kyi yang juga tak kalah otoriternya menghadapi kelompok minoritas Rohingya.

Rezim penindas, dan kelompok yang pernah ditindas bekerjasama menindas kelompok minoritas.

NKK-BKK dan peran emak-emak

Berkuasa tak lama setelah junta militer di Burma, rezim Orde Baru di bawah Soeharto punya cara berbeda dalam menghadapi aksi unjukrasa.