Hersubeno Arief: Payung Erotis Rezim Otoriter dan Kematian Gerakan Mahasiswa

Menghadapi aksi-aksi mahasiswa setelah peristiwa Malari 1974 dan Parlemen jalanan pada tahun 1978 pemerintah juga mengambil jalan keras. Beberapa tokoh mahasiswa ditangkap dan diadili.

Banyak di antaranya kini masih hidup. Ada yang tetap konsisten bersikap kritis di luar pemerintahan seperti Hariman Siregar. Ada yang masuk di pemerintahan seperti Dipo Alam. Ada juga yang pernah masuk di pemerintahan dan kemudian kembali turun ke jalanan seperti Rizal Ramli.

Pada tahun 1978 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (P&K) Daoed Joesoef mengeluarkan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK). Setelah itu disusul dengan Badan Koordinasi Kemahasiswan (BKK).

Melalui NKK-BKK kegiatan mahasiswa dikebiri. Kebijakan ini juga dikenal sebagai depolitisasi kampus. Mahasiswa dilarang melakukan aktivitas politik. Kebebasan intelektual dibatasi, dan kegiatan mahasiswa dikontrol ketat.

Ketika menteri P&K dijabat oleh Brigjen TNI Nugroho Notosutanto mahasiwa benar-benar dijauhkan dari politik. Organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMII dll digusur keluar kampus.

Aktivitas kemahasiswaan disalurkan melalui Senat Mahasiswa dengan dosen sebagai pelindung/pengawasnya.

Di tengah tekanan yang begitu ketat, kegiatan mahasiswa tetap menggeliat. Peran mereka sangat terlihat ketika berlangsung unjukrasa 1998. Dipicu penembakan atas empat orang mahasiswa Universitas Trisakti, mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR. Rezim Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun tumbang.

Pada Era Reformasi keran kebebasan mahasiswa dan kampus kembali dibuka. Namun tampaknya aktivitas mahasiswa di kampus sudah mati suri.

Para aktivis 98 banyak yang masuk di pemerintahan, menjadi komisaris di BUMN, atau menjadi Anggota DPR.

Sikap mereka sama. Bahkan banyak yang lebih buruk dari rezim yang pernah dikritik dan ditumbangkannya.

Puncaknya pada Pemilu 2019. Ada 600 orang petugas KPPS meninggal dunia mereka diam seribu basa. Ada kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan massif pada pilpres mahasiswa asyik dengan dunianya sendiri.

Ada 8 nyawa mati sia-sia tertembak, ada kekerasan aparat, mahasiswa dan kaum intelektual di kampus malah memberi berbagai dalih mendukung penguasa sambil menghujat dan menista para korban dan pengunjukrasa.

Pemerintah tak perlu susah payah meniru junta militer di Burma. Menyediakan fasilitas umum agar mahasiswa bebas bercinta dan kehilangan semangat berunjukrasa mempersoalkan ketidak-adilan penguasa.

Kita juga tidak bisa meniru gaya para aktivis mahasiswa era 70-80an. Mengirim paket pakaian dalam dan bra ke kampus-kampus yang mahasiswanya acuh tak acuh dengan kondisi sosial politik dan penderitaan rakyat.

Pemilik “benda-benda” itu, yakni para emak-emak jauh lebih peka dan perkasa dibandingkan para mahasiswa. [end/hersubeno-arief.com]