Hersubeno Arief: Prabowo Harus Belajar Dari Kasus SBY

Para pembantu dekat Jokowi secara terbuka sudah mengakui adanya tawaran politik bagi Partai Gerindra apabila Prabowo bersedia bertemu Jokowi dan mendukung pemerintahannya.

Dalam politik deal-deal politik semacam itu merupakan hal yang lumrah. Ada adagium yang sangat terkenal “dalam politik tidak ada makan siang yang gratis.” Semua ada harganya.

Bagi kubu Jokowi memberikan beberapa kursi di kabinet kepada Gerindra “bahkan dalam jumlah yang banyak” dan berbagai konsensi politis dan bisnis lainnya, harganya jauh lebih murah ketimbang meneruskan konfrontasi.

Gugatan di MK bisa segera dihentikan, KPU bisa segera menetapkan Jokowi-Maruf Amin sebagai pemenang. Jokowi bisa segera melakukan reshufle kabinet tanpa menunggu pelantikan pada bulan Oktober dan bisnis bisa berjalan seperti biasa.

Tapi tunggu dulu, apa dampaknya bagi Prabowo, Gerindra, dan masa depan politiknya apabila bersedia bergabung ke dalam pemerintahan Jokowi?

Pertama, para pendukungnya akan sangat kecewa dan menilai Prabowo sama saja, bahkan lebih parah dibanding SBY. Kredibilitas, keteguhan sikap Prabowo yang selama ini dia bangun akan hancur dalam sekejap.

Jangan lupa Prabowo sudah pernah berjanji akan terus bersama rakyat berjuang sampai titik darah penghabisan. “Saya akan timbul dan tenggelam bersama rakyat!,” tegasnya ketika menyampaikan sikapnya secara terbuka atas kecurangan politik di Hotel Sahid Jaya, Jakarta (14/5)

Prabowo sudah terikat dengan janji itu. Dia tidak bisa mengikuti kemauannya sendiri, apalagi mengikuti faksi pragmatis di tubuh Partai Gerindra maupun orang-orang di sekitarnya.

Kedua, Gerindra akan mengalami nasib yang sama dengan partai Demokrat ditinggalkan para pendukungnya. Suaranya dari pemilu ke pemilu akan terus merosot dan menjadi partai gurem.

Harus disadari bahwa Gerindra dan Demokrat adalah partai yang dibangun mengandalkan reputasi dan kekuatan figur para pendirinya Prabowo dan SBY. Hancurnya reputasi para pendiri akan sangat berdampak terhadap reputasi partai.

Harus diakui dengan jujur dan kerendahan hati, perolehan suara Prabowo-Sandi kemarin bukanlah semata hasil kerja partai pendukung dan tim suksesnya.

Ketiga, hancurnya kepercayaan publik terhadap para politisi. Semua politisi akan dinilai sama saja hanya mengejar jabatan tanpa idealisme.

Partisipasi politik, semangat kerelaan berkorban, berjuang atas sebuah nilai-nilai yang diyakini sebagai kebenaran, seperti yang tampak muncul pada Pilkada DKI 2017 dan Pilpres 2019 akan hilang. Publik akan apatis.

Pada Pilkada DKI 2017 ciri utamanya adalah menguatnya partisipasi dan solidaritas di kalangan umat. Sementara pada Pilpres 2019 partisipasi dan solidaritas politik lebih meluas, lintas partai, lintas golongan, dan lintas agama.

Catatan khusus harus diberikan atas mencuatnya partisipasi politik di kalangan emak-emak sebagai sebuah fenomena yang unik dan menarik.

Keempat, pragmatisme akan menjadi ciri utama dan budaya politik Indonesia. Dunia politik akan ditinggalkan oleh figur-figur yang punya idealisme tinggi. Mereka merasa tidak cocok dan punya tempat dalam dunia politik.

Akibatnya dunia politik hanya akan diisi oleh para petualang dan pencari remah-remah rente ekonomi dari kekuasaan.

Kelima, demokrasi Indonesia akan hancur karena menguatnya politik transaksional, menguatnya dominasi pemilik modal, dan tersingkirnya kekuatan sosial poltiknya masyarakat.

Dunia politik dan demokrasi Indonesia akan kuat bila pemenang pemilu menjalankan amanat rakyat dengan sebaik-baiknya. Bekerja dan berjuang untuk kemaslahatan rakyat dan bangsa. Sementara oposisi bekerja di luar pemerintahan dengan melakukan kontrol agar pemerintah tidak menyimpang dari konstitusi dan memenuhi janji-janji politiknya.

Politisi boleh datang dan pergi. Tugas utama mereka adalah membantu bangsa ini menyelesaikan masalahnya. Bukan malah membuat masalah.(kl/hersubeno-arief.com)