Hersubeno Arief: Reuni 212, Apakah Masih Perlu?

Sebagai mantan Kapolri, Tito sangat paham betul dengan siapa dia berurusan.

Gerakan ini tidak mudah dipatahkan dan ditundukkan. Tidak bisa ditakut-takuti, juga tidak bisa dikooptasi. Mereka berbeda dengan kubu Prabowo.

Lepas dari ketidak-sukaan pemerintah, menarik untuk mempertanyakan apakah urgensi dari reuni tersebut?

Bagi pegiat demokrasi yang jujur, seharusnya keberadaan alumni 212  patut disyukuri. Bukan malah dimusuhi hanya karena adanya perbedaan latar belakang dan keyakinan beragama.

Mereka adalah simbol tetap hidupnya kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok yang melakukan kontrol sosial terhadap pemerintah.

Kelompok yang berani menyatakan TIDAK, ketika semua instrumen demokrasi nyaris mati suri dan membebek apapun keinginan pemerintah.

Tanda-tanda negara ini dibawa menjauh dari demokrasi tampak sangat nyata. Tanda-tanda bahwa negara ini ingin  kembali dibawa ke praktik kekuasaan otoriter sudah di depan mata.

Ada upaya secara sistematis mengembalikan pemilihan presiden ke MPR. Ada upaya nyata menjadikan Jokowi sebagai presiden “seumur hidup.”

Upaya itu dibungkus dengan wacana memperpanjang masa jabatan dari 5 tahun menjadi 8 tahun. Mengubah pembatasan masa jabatan dua periode menjadi tiga periode.

Bila upaya tersebut sukses, tidak tertutup kemungkinan tidak ada lagi pembatasan masa jabatan presiden seperti pada masa Orde Baru, dengan dalih kembali ke UUD 45.

Pemerintah  melangkah terlampau jauh memasuki aktivitas privat masyarakat. Yang lebih memprihatinkan pemerintah terkesan terjangkit dan mengembangkan wacana Islamophobia.

Wacana perang terhadap radikalisme dikembangkan sedemikian rupa dan sasaran utamanya adalah umat Islam.

Kegiatan majelis taklim harus terdaftar. Polisi disebar untuk mengawasi masjid-masjid yang diduga sebagai tempat penyebar kebencian.

Pemerintah juga menerbitkan SKB 11 Menteri untuk mencegah paham radikalisme di kalangan aparatur sipil negara (ASN).

Bisa dibayangkan apa yang terjadi dengan masa depan demokrasi Indonesia,  ketika tidak ada lagi elemen kritis yang terorganisasi.

Dalam konteks inilah  reuni alumni 212 menemukan urgensinya. Harus terus ada kelompok yang menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah.

Mereka harus terus dirawat. Dijaga soliditasnya.

Jangan pandang mereka sebagai kelompok berbahaya yang harus terus dimusuhi.

Jadikan mereka partner di luar pemerintahan untuk menjaga demokrasi kita tumbuh sehat dan kuat.

Demokrasi dapat tegak berdiri tanpa oposisi,  adalah ilusi. end (*end)

Penulis: Hersubeno Arief, Wartawan Senior