Hersubeno Arief: Situng KPU, Indonesia Darurat Demokrasi

Sebagai sistem berbasis IT, Situng harusnya secara otomatis bisa menangkal berbagai kesalahan sekecil apapun ( auto rejection ). Sebagai contoh, jumlah TPS dibatasi maksimal 3.00 pemilih, maka ketika ada input total suara lebih dari 3.00, secara otomatis tertolak. Ironisnya kesalahan jumlah pemilih ini yang terbanyak.

Hal semacam itu sangat elementer. Salah satu tujuan aplikasi Situng sebagaimana dikatakan komisioner KPU adalah untuk meminimalisir kesalahan penyelenggara.

Tidak berlebihan bila publik menjadi curiga terhadap KPU. Mereka adalah bagian dari kecurangan itu. Apalagi publik juga bisa secara langsung menyaksikan tampilan data perolehan suara di Situng KPU. Hasilnya sama persis, atau setidaknya mirip-mirip dengan hasil quick count. Angkanya naik turun berkisar 54-46, atau 57-43 persen.

Perolehan suara itu konsisten selama 12 hari terakhir. Setelah dicermati data dari provinsi yang memenangkan Paslon 01 masuk sangat cepat. Sementara data dari provinsi yang menjadi basis Paslon 02 sangat lambat.

Mereka mencoba menerapkan metode psikologi mind games. Memanipulasi dan mengintimidasi pikiran publik, bahwa Jokowi sudah menang.

Hanya ada dua alasan yang bisa menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, sistem IT KPU sangat lemah dan operatornya sangat bodoh. Kedua sistem sistem tersebut di desain untuk memungkinkan terjadinya kecurangan. Hanya itu penjelasan yang masuk akal.

Diluar itu kemungkinan ketiga. Perpaduan keduanya. Mereka melakukan kecurangan dengan cara yang sangat bodoh. Dugaan ketiga ini datang dari mantan Menteri Otonomi Daerah Prof Ryaas Rasyid. “Jika memang tim 01 ingin ‘main’, maka seharusnya membuat rencana yang matang, dengan antisipasi segala kemungkinan risiko yang akan dihadapi,” ujarnya.

Tidak punya basis legitimasi

Temuan puluhan ribu kesalahan itu kian menggerogoti kepercayaan publik kepada KPU. Apalagi sebelumnya Bawaslu juga menemukan banyak cacat dalam pelaksanaan pilpres.