Ilham Bintang: Pak Jokowi, Tolong Tertibkan Komunikasi Politik Istana

Kegaduhan pun terjadi di tengah masyarakat yang sudah menderita sejak Maret 2020 akibat pandemi Covid-19.

Sampai Sabtu (17/7), total kasus positif sebanyak 2.832.775. Sembuh: 2.232.394. Yang wafat: 72.489 jiwa. Update hari itu saja, jumlah positif 51.952 dan wafat 1092 jiwa.

Sudah empat hari terakhir ini angka update harian menempatkan Indonesia pada posisi nomor 1 dunia.

Istana pun saya kira tahu, PPKM Darurat ini menghadapi resistensi dari sebagian masyarakat.

Mungkin karena aturan pembatasan banyak diarahkan kepada pekerja kantoran. Seperti melupakan ada 74 juta pekerja informal dari 130 juta angkatan kerja di Indonesia (Data BPS, 2020).

Seperti gambaran dalam laporan tulisan saya “Beyond Help”: Pandemi Covid-19 Di Tanah Air: 14 Juli 2021, PPKM Darurat menghadapi resistensi terutama dari pekerja informal.

Sebagian besar mereka beraktivitas mencari nafkah hanya untuk cari makan keluarganya buat hari itu saja.

Mereka itulah yang teridentifikasi setiap hari frontal dengan petugas di seluruh ruas jalan tempat penyekatan.

Selebihnya, di lapak-lapak, gerobak, dan ruko- ruko tempat berjualan yang dibubarkan paksa tanpa ampun oleh petugas Satpol PP.

Mudah dibayangkan akan terjadi konflik fisik antar petugas dengan masyarakat yang berjualan sekedar hanya mencari sesuap nasi untuk keluarganya.

PPKM Darurat lanjut or setop, sebenarnya poinnya bukan di situ. Melainkan pada kewajiban pemerintah membiayai kebutuhan dasar rakyat yang terdampak pembatasan kegiatan.

Pasal 55 ayat 1 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan mengatur kewajiban itu. Bukan menghukum dan memberi sanksi pidana kepada mereka.

Pakar hukum pidana Prof. Dr. Mudzakir dari Universitas Islam Indonesia menyayangkan sanksi pidana kepada masyarakat yang melanggar aturan PPKM Darurat.

“Kasihan mencari makan kok dipidana. Dasar hukum PPKM Darurat tidak cukup untuk dapat menerapkan sanksi pidana. Kenapa tidak gunakan UU 6/2018 Tentang Kekarantinaan,” katanya dalam diskusi di TVOne, Sabtu (17/7) petang.

“Bayari kebutuhan dasar hidup rakyat yang terdampak. Begitu perintah UU-nya,” tambah Mudzakir.

Centang Prenang

Centang perenang (berantakan, KBBI) komunikasi politik Istana sudah terjadi jauh sebelum pandemi Covid-19 melanda Indonesia dan dunia.

Belum lekang dari ingatan kita, kegaduhan di tengah masyarakat sering terjadi justru sumbernya dari dalam Istana sendiri.

Kita mencatat, bahkan ucapan Presiden Jokowi pun pernah diralat sendiri oleh juru bicara. Rasanya, kejadian seperti itu jarang terjadi di dunia, untuk tidak mengatakan hanya terjadi di Istana Indonesia.

Pak Jokowi saya kira sudah tahu itu.

Tahun lalu, pernah diinformasikan mengenai hanya tiga pejabat yang berhak bicara mengatas namakan Presiden (Istana). Itu disampaikan oleh Kepala staf Presiden Jenderal Moeldoko.

Ia mengatakan, pejabat yang bisa mengatasnamakan Istana, antara lain dirinya sendiri, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno dan Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung Ketiganya memang merupakan pejabat tinggi yang langsung dilantik oleh Jokowi.

Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman, waktu itu, membenarkan hanya tiga orang yang merepresentasikan Istana berbicara di depan publik.

Ia juga mengakui dirinya tidak termasuk dari tiga orang tersebut.

Namun, fakta di lapangan, berbeda. Selain Fadjroelrahman dan AM Ngabalin, ada beberapa sosok lagi yang sering wara wiri di stasiun televisi dan berbagai media dengan berbagai topik.

Sungguh mati, kita mengalami kesulitan mengidentifikasi mana betul-betul yang mewakili Istana (Presiden).

Detail Presiden

Kembali ke soal PPKM Darurat. Kita mengapresiasi Jokowi yang menyampaikan empatinya pada wanita pemilik cafe di Gowa, Sulawesi Selatan.

Wanita hamil itu dipukul Satpol PP saat razia PPKM Darurat. Sedetail itu Presiden mengamati peristiwa di lapangan. Itu sebabnya kita tidak habis pikir mengapa komunikasi politik oleh sosok-sosok dari halamannya sendiri tidak cepat dibenahi dan ditertibkan.

Sedangkan program Vaksin Gotong Royong berbayar saja langsung dihentikan Presiden karena bikin gaduh. Tidak mempertimbangkan sense of crisis oleh pelaksanaannya. Kurang apa?

Presiden yang meluncurkan Presiden VGR itu, 18 Mei. Toh “dikanvaskan” juga begitu paham duduk perkara kegaduhan yang timbul.