Indonesia untuk Bangsa Indonesia

Jadi, ketika beberapa dekade ini muncul aksi dan gelombang kesadaran publik untuk kembali ke UUD yang lahir 18 Agustus 1945 (UUD 1945 asli), maka geliat publik untuk kembali ke UUD asli tersebut bukanlah fenomena dan manuver politik praktis yang bermaksud untuk meraih kekuasaan; atau (seolah-olah) ingin kembali ke masa orde baru; tidak boleh juga distigma sebagai gerakan oposisi, apalagi makar — BUKAN. Sekali lagi, bukan! Tetapi itulah gerakan moral dan intelektual segenap anak bangsa untuk kembali ke “jati diri” sebagai bangsa yang berdaulat karena selama ini keindonesiannya telah pupus akibat operasional serta praktik UUD (palsu) yang lahir pada 10 Agustus 2002.

Inilah arus baru (nonmainstream) yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dan sepertinya tidak bisa dibendung, karena selain merupakan hak konstitusi, gerakan tersebut tidak melawan arus, namun juga tidak ikut arus. Istilahnya di dunia medsos, contohnya, mereka bukan ‘kecebong’, bukan ‘kampret’, tidak pula ‘kadrun’. Tidak. Sekali lagi, ia bukan oposisi, tidak pula koalisi. Tetapi, “arus baru”,

Gelombang arus baru inilah, diharapkan mampu menarik kelompok ‘ikut arus’ dan kaum ‘pelawan arus’ atas nama manisnya nasionalisme dan sedapnya cinta tanah air. Kenapa? Karena praktek UUD (palsu) hasil empat kali amandemen telah meyebabkan hilangnya tiga hal prinsip dalam UUD 1945 yang merupakan pokok-pokok bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Adapun tiga hal prinsip yang hilang tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, (direbut) berpindahnya kedaulatan dari tangan rakyat ke genggam partai politik;

Kedua, imigran kini berpeluang menjadi presiden;

Ketiga, sistem dan praktik perekonomian berubah menjadi kapitalisme.

Lantas, apa implikasi akibat tercabutnya tiga hal prinsip di atas?

Tak boleh dielak, UUD hasil amandemen tersebut membidani “industri baru” yang justru kontra produktif bagi kehidupan berbangsa-bernegara, contohnya ialah:

1. Rakyat terbelah secara permanen, dan kerap belahan sosial tersebut kian meruncing ketika ada hajatan pilkades, pilkada, terutama pilpres;

2. High cost politics;

3. Maraknya korupsi, oleh sebab disinyalir korupsi itu sendiri diciptakan oleh sistem (konstitusi);

4. Melahirkan para pemimpin kurang kredibel karena faktor money politics dan industri pencitraan;

5. Membidani banyak dinasti politik baik di daerah maupun di tingkat nasional;

6. Maraknya profesi semu yakni buzzer sebagai lapangan kerja baru yang justru melestarikan kegaduhan sosial; dan lain-lain.

Gilirannya, seandainya terjadi pembangunan pun, maka yang berlangsung ialah pembangunan (di) Indonesia, bukan pembangunan Indonesia. Yang membangun siapa, yang menikmati siapa. Rakyat jadi penonton. Seyogianya, kata dr Zulkifi S Ekomei, Indonesia untuk bangsa Indonesia, bukan untuk bangsa lainnya.

Dan dari perspektif arus baru tersebut, tahun 2024, 2029, atau 2034 misalnya, adalah deretan angka-angka sial selama republik ini menggunakan UUD yang lahir 10 Agustus 2002. End. [The GlobalReview]

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)