Jokowi dan Urungnya Diskusi Pemakzulan

UGM adalah almamater Jokowi ketika dulu mantan Walikota Surakarta ini kuliah di Fakultas Kehutanan dan lulus tahun 1980.

Dus, UGM adalah “rumah” kedua yang sangat berharga bagi Jokowi.

Serangan politik kepada Jokowi langsung dilakukan dari dan menyasar ke “rumah” keduanya ini.

Pratikno, Menteri Sekretaris Negara, adalah Rektor UGM periode 2012-2014. Maka, serangan itu pun kian terasa telak.

UGM, yang merupakan “rumah” kedua Jokowi dan Pratikno dipersepsikan “memusuhi” mantan Gubernur DKI Jakarta itu.

Selain Jokowi dan Pratikno, ada lima alumni UGM lainnya yang ada di kabinet, yakni Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimoeljono, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto, dan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Beruntung, Jokowi tidak (belum) punya saudara dekat atau ipar yang terjun ke dunia politik.

Bila punya, mungkin sudah dimanfaatkan pihak lawan untuk menyerang Jokowi. Ini seperti Rachmawati Soekarnoputri “menyerang” kakak kandungnya, Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan “seumur hidup” itu.

Ngeri-ngeri Sedap

Ngeri-ngeri sedap. Betapa tidak? Tema diskusi itu bisa menggiring opini publik ke arah “impeachment” atau pemakzulan Jokowi di tengah penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19 yang tak kunjung beres.

Jokowi akan dipersepsikan gagal.

Soal faktanya, apakah Jokowi benar-benar gagal atau tidak, itu urusan belakangan, yang penting persepsi sudah terbangun, karena politik adalah persepsi.

Kondisi mencekam coba dihadirkan lewat tema itu. Berkelindan dengan isu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020 yang beberapa waktu lalu disahkan DPR RI menjadi UU. Perppu 1/2020 ini dipersepsikan mencekam karena di dalamnya ada semacam imunitas atau kekebalan hukum bagi pejabat yang menangani Covid-19.

Perppu tersebut dipersepsikan sebagai antisipasi kegagalan Jokowi dalam menangani Covid-19, sehingga layak dimakzulkan.

Tema tersebut memang kurang bersahabat dengan Jokowi, bahkan cenderung “kejam”.

Bagaimana bisa di tengah wabah corona, di saat dibutuhkan soliditas bangsa ini untuk bersama-sama melawan Covid-19, orang bicara pemakzulan presiden?

Apakah tidak ada tema lain yang lebih seksi? Mengapa seakan ada upaya menggunting di lipatan, menyalip di tikungan?

Dugaan teror itu pun bak simalakama bagi Jokowi. Maju kena, mundur kena. Persepsi awam yang sudah terlanjur terbangun adalah para terduga pelaku teror merupakan pendukung Jokowi, entah oknum aparat negara atau lainnya.

Sebab itu, siapa pun terduga pelakunya, padahal bisa saja lawan politik yang menyusup, nama Jokowi-lah yang sudah terlanjur babak belur.

Maka tak bisa lain, kecuali aparat keamanan harus segera menangkap terduga pelaku teror untuk mengetahui apa motifnya dan siapa dalangnya.

Sebaliknya, bila dugaan teror itu hanya isapan jempol belaka, pihak-pihak yang menyebarkan adanya teror harus bertanggung jawab secara hukum.

Kembali ke “jantung”, serangan-serangan politik Amien Rais terhadap Jokowi juga terasa lebih telak karena mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) yang kini sedang galau mau mendirikan partai baru ini adalah Guru Besar UGM dan berasal dari kampung halaman yang sama dengan Jokowi: Solo!

Gejayan, cikal bakal lahirnya gerakan reformasi 1998, juga dekat dengan UGM. Makanya di Gejayan pula beberapa kali dihelat aksi demonstrasi untuk menyerang kebijakan-kebijakan Jokowi.

Saat Pemilihan Presiden 2019, posko pemenangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno didirikan di dekat rumah Jokowi di Sumber, Banjarsari, Solo. Ketua Tim Pemenangan Prabowo-Sandi, juga orang Solo, yakni Djoko Santoso, kini almarhum.

Seolah hendak dibangun persepsi, masyarakat yang dekat di sekitar Jokowi saja tidak mendukungnya, apalagi masyarakat yang jauh. Itulah!(end)

* Penulis: Karyudi Sutajah Putra: Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI), Jakarta.