Kekuatan Air pada Konflik Timur Tengah

Dari kacamata konflik, air di Timur Tengah bisa menjadi objek, alat, ataupun penyelesaian konflik jika dikelola secara bijak oleh setiap negara. Air menjadi objek konflik ketika negara antar regional saling berebut, baik dengan menggunakan kekuatan militer maupun diplomasi untuk melakukan intervensi dan hegemoni. Jika sebuah negara memiliki sumber air, atau berhasil menguasai sumber air negara lain, maka air akan menjadi alat konflik. Karena dengan cara itu negara yang menguasai sumber air mampu menekan negara lain, sesuai kepentingan yang ia inginkan.

Ini menunjukkan bahwa air memiliki kekuatan yang luar biasa. Jadi tak heran jika pada tahun 1995, Wakil Presiden Bank Dunia Ismael Serageldin meramalkan bahwa perang masa depan tidak lagi dipicu oleh perebutan emas hitam (minyak), tetapi oleh emas biru (air). Al-Quran sendiri sudah memberikan isyarat, bahwa air tidak kalah penting dengan minyak. Dalam dalam surat Al-Anbiya ayat 30 Allah Swt. berfirman yang artinya, "Dan Kami jadikan dari pada air itu segala sesuatu menjadi hidup, apakah kamu tidak beriman?"

Persediaan Air di Wilayah Arab

Persediaan air permukaan (sungai) di wilayah Arab mencapai 127,5 milyar meter kubik setiap tahunnya. 71%-nya mengelilingi tiga negara, yaitu Mesir, Irak dan Sudan. 67% diantaranya berasal dari luar negara Arab.

Hal ini karena Irak memiliki dua sungai yaitu Eufrat dan Tigris (Dejlah). Sungai Eufrat mengalir dari Turki menuju Suriah, dan bermuara di Irak. Sedangkan Sungai Tigris mengalir langsung dari Turki ke Irak.

Sedangkan Mesir dan Sudan karena memiliki sungai Nil yang bermuara pada Ethiopia (Nil biru) dan danau Victoria (Nil putih). Nil putih dan biru ini bertemu di dekat Khourtum, ibukota Sudan, kemudian mengalir ke Mesir.

Air Sebagai Alat dan Objek Konflik

Air bisa menjadi alat konflik ketika ia digunakan untuk menekan negara lain. Sebut saja Nil yang memiliki hulu di Ethiopia, maka Ethiopia bisa menggunakan kekuasaannya pada sumber air untuk menekan Mesir.

Bila Ethiopia tidak ingin menekan Mesir, Ethiopia bisa dimanfaatkan oleh negara lain, seperti yang terjadi sekarang. Hegemoni AS dan Israel yang kuat di tanduk Afrika, ditambah dengan adanya Yahudi Ethiopia yang disebut dengan "Beta Israel", menjadikan Zionis semakin mantap memainkan peranannya untuk menekan Mesir melalui Ethiopia. Karena Israel meminta Mesir untuk mengalirkan air Nil melelaui jalur Sinai ke Israel. Jika Mesir tidak memenuhi permintaan Israel tersebut, maka Zionis-Israel akan mengintervensi Ethiopia agar tidak mengalirkan air Nil Ethiopia ke Mesir.

Saat ini ada beberapa penelitian yang siap diterapkan untuk membuat bendungan air di Ethiopia dengan bantuan Bank Dunia. Kegiatan ini diprediksikan akan mengurangi 20% air Nil yang akan mengalir ke Mesir, sehingga Mesir kehilangan sekitar 7 milyar meter kubik dari 55,5 milyar meter kubik suplai air setiap tahunnya.

Bahkan untuk menekan Mesir, ada propaganda agar Ethiopia membendung seluruh Nil biru, sehingga akan membentuk danau besar di Ethiopia sebagai gudang air raksasa, kemudian menjualnya kepada negara yang menginginkannya, persis seperti menjual minyak.

Turki juga memanfaatkan kekuasaan hulu sungai Eufrat dan Tiggris dalam menekan negara hilir untuk kepentingan nasionalnya. Untuk itu, Turki merancang mega proyek Anatolia yang mencakup pembangunan 25 sistem irigasi, 22 bendungan di jalur Sungai Eufrat, dan 19 pembangkit listrik.

Satu dari 22 bendungan tersebut telah dibangun pada tahun 1990 dengan nama bendungan Attaturk. Dengan pembangunan satu bendungan ini saja, pasokan air ke Suriah dan Irak telah berkurang masing-masing sebesar 40% dan 80%. Apalagi jika 21 proyek bendungan lainnya direalisasikan, tentu akan menjadi mimpi buruk bagi Suriah dan Irak. Dengan kekuatan kekuasaan air hulu inilah Turki pernah menekan Suriah dalam membasmi pemberontakan suku Kurdi di Selatan Turki.

Air juga akan menjadi objek konflik ketika ia diperebutkan. Hal ini seperti Irak dan Suriah yang memperebutkan air sungai Eufrat. Pihak Suriah membuat bendungan air di sungai Eufrat untuk kepentingan dalam negerinya. Sedangkan Irak berusaha menggagalkan bendungan tersebut, untuk menjaga agar pasokan air ke Irak tetap memadai. Ketegangan ini hampir saja menimbulkan perang kedua negara. Maka pada tahun 1974 dan 1975, Irak sebagai pihak yang dirugikan mengancam untuk membom bendungan Suriah di Tabqa.

Ambisi Israel Merebut Air

Israel membutuhkan air untuk mempertahankan eksistensi negara Zionis yang kuat dan mandiri. Untuk itu Israel berusaha merebut air secara mimpi, mengemis, mencuri, bahkan merampas secara paksa melalui perang.

Secara mimpi, ambisi Israel merebut air telah tampak sejak Zionisme ingin mencapai target membangun negara Israel Raya. Target itu tertulis dan tergantung di Knesset Israel yang berbunyi, "Tuhan memberikan kepadamu wahai anak-anak Israel, wilayah antara Dejlah dan Nil." Ini berarti Israel Raya berambisi mendapatkan wilayah antara air dan air (sungai Dejlah dan sungai Nil).

Secara mengemis, setelah penandatanganan perjanjian Balfour pada tahun 1917, pemimpin Konferensi Yahudi Chaim Azriel Weizmann meminta pada Perdana Menteri Inggris Luid George agar memperluas wilayah Israel, lebih luas dari perjanjian Balfour. Weizmann meminta agar Inggris menambahkan danau Lithani di Lebanon, sungai Yordan, Panisa, dan Yarmuk menjadi bagian dari negara Israel.

Secara mencuri, Israel melakukan aksinya melalui proyek yang diaktori oleh Ilyasa’ Kiely pada tahun 1974. Proyek ini berusaha mengambil air dari negara-negar tetangga, dengan prediksi Israel akan mengalami krisis air di masa depan. Mencuri air dari Mesir, Israel menggali sumur-sumur yang dalam di perbatasan, kemudian mengalirkan air sungai Nil ke Israel dengan menggunakan tabung lengkung di bawah terusan Suez. Menurut laporan lembaga HAM "Al-Ard Center", proyek ini memungkinkan mengalirkan air sungai Nil satu milyar meter kubik ke Israel. Sumber lain mengatakan sekitar 8 milyar meter kubik. Selain itu proyek ini juga mengalirkan air Nil ke bagian selatan, tepatnya ke padang pasir Negev. Tentunya proyek ini merugikan Mesir, sehingga sering menjadi isu hangat setelah perjanjian Camp David.

Secara merampas, Zionis-Israel tidak segan-segan melancarkan perang untuk merebut sumber air. Merampas air dengan perang adalah arahan dari petinggi Zionis. Pada tahun 1955 David Ben Gurion mengatakan, "Yahudi memerangi Arab adalah untuk merebut air. Hasil perang ini menentukan eksistensi Israel. Bila perang ini tidak behasil, maka kita tidak akan mampu bertahan lama di Palestina."

Dalam bukunya Water, Conflict Resoulution, and Environmental Sustainability in the Middle East (2001) Federick mengatakan, bahwa perang antara Suriah dan Israel pada tahun 1950-an dan 1960-an didasari oleh konflik air lintas regional. Dalam perang melawan Arab (1964-1965) khususnya di perbatasan Suriah dan Lebanon, salah satu motiv Israel adalah menguasai sungai Yordania, sungai Panias, sungai Yarmuk, dan sungai Hashabani. Begitu juga salah satu motiv perang 1967 adalah untuk mengubah arah aliran sungai Yordan untuk kepentingan Israel. Tahun 1982, Israel melancarkan perang ke Lebanon, salah satu motivnya adalah menguasai sungai Lithani.

Bersatu Mengakhiri Penjajahan Zionis-Israel

Menyikapi konflik air lintas regional, ada dua teori yang bisa dipakai. Pertama, teori kedaulatan wilayah tanpa batas (unlimited territorial sovereignty). Teori ini menyatakan bahwa negara memiliki kekuasaan penuh dalam mengeksploitasi air wilayahnya walau merugikan negara lain. Teori ini diterapkan India yang membiarkan air wilayahnya mengalami polusi, sehingga merugikan Bangladesh yang merupakan negara hilir.

Teori kedua adalah keterpaduan wilayah tidak terbatas (unlimited territorial integrity), kebalikan dari teori pertama. Teori ini menyatakan bahwa satu negara tidak berhak mengubah kuantitas dan kualitas dari ketersediaan air yang mengalir ke wilayah negara lain. Teori ini digunakan Mesir untuk menjaga tersedianya suplay air ke Nil Mesir. Tujuannya untuk mampu mengantisipasi negara-negara hulu, sehingga tidak membuat bendungan berlebihan yang dapat mengurangi pasokan air ke Mesir.

Dari kedua teori yang mengatur kebijakan air lintas regional ini, negara-negara Arab yang mayoritas umat Islam seharusnya menggunakan teori pertama untuk mengakhiri penjajahan Israel di Palestina.

Dengan kekuatan air, negara-negara Islam sebenarnya mampu dengan mudah menekan Israel untuk mengakhiri penjajahan. Hal ini karena kebutuhan air Israel masih bergantung pada dunia Islam. Bukankah Israel begantung pada 83% air Tepi Barat berdasarkan perjanjian Oslo? Bukankah Israel bergantung pada 40% air danau Galilea di dataran tinggi Golan yang dianeksasi pada 1981? Bukankah kekuatan Israel bergantung pada air sungai Yordan? Bukankah Israel juga masih bergantung pada air Nil Mesir dengan memanfaatkan Ethiopia dan memanfaatkan pemerintahan Mesir yang lemah?

Analis tetap di majalah Al-Mukhtar Al-Islami terbitan Kairo (edisi Juni 2009) Dr. Muhammad Muru mengatakan, "Saat ini Israel mengkonsumsi air sebesar 3,5 milyar meter kubik, dan Israel ingin menambah suplai air sebesar 12 milyar meter kubik untuk menjalankan proyek-proyek penjajahan." Jika pemimpin dunia Islam tunduk dan menuruti nafsu Zionis ini, umat islam akan semakin meringkuk dalam kehinaan. Namun jika umat Islam bersatu menghentikan suplai air ke Israel, maka tidak hanya mimpi Israel yang terkubur, Palestina juga bisa tersenyum dan kemudian terbebaskan. Wallahu al-musta’an.

Profil Penulis:

Muhammad Yasin Jumadi. Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Fakultas Islamic Law and Jurisprudence, Jurusan Qanun. Anggota Divisi Kajian di Lembaga Studi Informasi Alam Islami (SINAI) Mesir. Web: www.sinaimesir.com. Email: [email protected].