Koalisi Dan Reshuffle: Pepesan Kosong, Bukan Untuk Kepentingan Rakyat !

Oleh Harits Abu Ulya (Ketua Lajnah Siyasiyah DPP HTI)

Suhu politik nasional cukup panas, tentu ini tidak menyelimuti rakyat kebanyakan melainkan hanya dirasakan kelompok dan elit tertentu terutama para pejabat dan petinggi parpol tertentu. Yang menjadi salah satu pemicunya adalah keterusterangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyebutkan adanya dua partai politik yang bergabung dalam koalisi melanggar komitmen koalisi. Dan menurutnya dalam jumpa pers di kantor kepresidenan, parpol semacam ini tidak bisa dipertahankan lagi dalam koalisi dan layak untuk mendapatkan sanksi (2/3/2011).

Staf khusus Kepresidenan Daniel Sparingga juga mengungkapkan kepastian adanya pembahasan perombakan cabinet;“peristiwa dalam koalisi mendorong dilakukan evaluasi” akunya.Persis sama dengan pernyataan Staf Khusus Kepresidenan Bidang Informasi Heru Lelono menyatakan perombakan Kabinet Indonesia Bersatu II bukan suatu wacana karena sudah melalui proses pembicaraan.Di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, Heru mengatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang sudah dan akan melakukan pembicaraan dengan berbagai partai politik.(Antara,7/3)

Kasus pecah kongsi koalisi bukan kali pertama, “kemesraan” semu yang cepat berlalu. Merunut ke belakang, koalisi parpol juga meramaikan wacana politik pasca-kejatuhan Orde Baru. Isu ini pertama kali muncul saat pemilihan presiden di MPR tahun 1999. Amien Rais, Ketua Umum PAN, menggagas Poros Tengah untuk menjembatani polarisasi PDI-P dan Golkar di parlemen.

Poros Tengah yang mengakomodasi aliansi PKB, PAN, dan sembilan partai Islam sukses mengusung KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai presiden. Dua tahun kemudian, Poros Tengah pecah. PKB tersisih dan Gus Dur dilengserkan. Megawati Soekarnoputri, sebagai pengganti Gus Dur, perlu memantapkan aliansi pendukungnya dalam koalisi permanen.

Akomodasi kepentingan pragmatis juga terlihat dari susunan kabinet. Namun, menjelang Pemilu 2004, kabinetnya pun dibongkar-pasang kembali. Rakyat betul-betul belum hilang ingatan bagaimana lengsernya Presiden Abdurrahman Wahid juga karena pecahnya koalisi antar partai pendukung pemerintahan. Yang awalnya Gusdur didukung dan diangkat menjadi Presiden, akhirnya bernasib “tragis” dijatuhkan gara-gara skandal dana Bulog sebesar Rp.40 Miliar yang membelit Akbar Tanjung.

Kali ini juga demikian, koalisi parpol penyokong Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mulai koyak. Pemicunya Golkar dan PKS memotori penggunaan hak angket untuk kasus mafia pajak. Dan langkah ini dipandang sebagai upaya menghantam pemerintah. Pemerintahan periode kedua Susilo Bambang Yudhoyono baru berjalan 1,5 tahun, lahir ”ganjalan” cukup serius terkait koalisi.Ketika politisi Partai Golkar dan PKS mengusung penggunaan hak angket mafia pajak beberapa waktu lalu, dalam sudut pandang kesepakatan koalisi tentu dipandang sebagai langkah politik yang mengusik stabilitas koalisi. Jauh hari sebelum kemelut mafia pajak, kedua partai tersebut juga berperan dalam pembentukan Pansus Century.

Formasi koalisi yang dibentuk bersama antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Partai Kebangkitan Bangsa hakikatnya dibangun berdasarkan kesepakatan untuk untuk menjaga stabilitas pemerintahan dan kekuasaan hingga akhir tahun 2014.

Namun kemudian ditataran implementasi komitmen yang tertuang dalam 11 butir kesepakatan koalisi terabaikan.Faktor penyebab yang rasional dan aktual adalah sebuah “Politik transaksional” yang didasarkan pada kepentingan sesaat melahirkan kerja sama politik yang semu. Mengabaikan ideologi, dan melahirkan wajah parpol di negeri ini berpolitik tanpa orentasi yang jelas. Inkonsistensi terhadap komitmen koalisi adalah salah satu indikatornya.

Rakyat sudah acap kali disodori media untuk menyaksikan drama babak demi babak carut marutnya perpolitikan di Indonesia. Tapi yang nyaris dilupakan adalah, rakyat juga tidak kunjung menemukan jawaban-jawaban dari berbagai problem yang melilitnya. Dimana rakyat membutuhkan kehadiran Negara secara maksimal (sesuai peran dan fungsinya) dalam banyak aspek kehidupan rakyat.

Menjadi sebuah realitas, para pejabat dan politikus sibuk dengan kehidupan mereka sendiri dan rakyat disisi lain berjibaku menghadapi berbagai persoalan. Mereka di pisahkan jarak “opurtunisme dan pragmatism” politik. Rakyat dalam sistem demokrasi yang ilusif pemegang “daulat” tapi mengalami nasib seperti kelompok yang tersandra dan dibajak seluruh hak-haknya dalam kehidupan politik. Yang berakrobat menterjemakan seluruh makna praktis politik adalah segelintir elit dan para penguasa dengan basis dan “ruh” pragmatism, opurtunisme.

Wajar jika sebagian besar masyarakat tidak lagi respek terhadap isu koalisi dan reshuffle karena mereka sadar bahwa “kisruh” para elit politik (internal partai atau politisi partai) tidak ada selain mengamankan kekuasaan, jabatan dan dampak-dampak keuangan yang bisa diraihnya.

Hal ini bisa dilihat dari hasil sebuah jajak pendapat; rendahnya kepercayaan responden terhadap “niat baik” politisi yang menggalang penggunaan hak angket mafia pajak. Paling tidak, hanya 21,2 persen responden yang percaya bahwa langkah politisi Golkar dan PKS di balik hak angket dimotivasi oleh kepentingan rakyat. Sebaliknya, 64,1 persen responden tidak memercayainya.(kompas, 7/3).

Selain itu dalam dunia politik sekuler, sulit membedakan kawan dan lawan. Yang pasti dan abadi adalah “kepentingan”. Sebuah kewajaran bangunan koalisi kandas akibat kepentingan pragmatis. Atau, aliansi mudah terbentuk dan mudah bubar tanpa memperhitungkan misi, apalagi ideologi.

Ya contoh kongkritnya retaknya kongsi Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai Politik Pendukung Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Aliansi ini memengaruhi jalannya pemerintahan. Sistem presidensial dipaksa mengakomodasi koalisi parpol seperti dalam sistem parlementer. Kabinet pun tidak lepas dari warna-warni parpol pendukung. Dari 37 anggota Kabinet Indonesia Bersatu II, 19 orang berasal dari parpol.

Aliansi parpol yang komandoi Partai Demokrat dan Partai Golkar ini sudah terlihat rapuh sejak diikrarkan Mei 2010. Kongsi ini dibentuk tidak lama setelah DPR membahas dana talangan ke Bank Century senilai Rp 6,7 triliun. Golkar di satu sisi membidani lahirnya Setgab, tetapi di sisi lain menjadi inisiator Panitia Khusus DPR untuk kasus Bank Century.

Mau dibawa kemana negeri ini?

Maka pertanyaan mendasar yang perlu diajukan; dimanakah kepentingan rakyat dalam isu kisruhnya koalisi dan reshuffle kabinet? Apakah benar berjibakunya mereka dengan berbagai logika dan langkah stretegi politik itu untuk memujudkan kepentingan rakyat?, tentu sulit rakyat menemukan jawabannya.Karena sejauh ini rakyat tidak menemukan relevansi antara kisruhnya para elit politik dengan problem rakyat yang butuh solusi kongkrit.

Para elit berjibaku tidak lebih hanya untuk mengamankan kepentingan sempitnya, dan rakyat bisa melihat isu reshuffle kehilangan substansi. Muatan yang paling dominan adalah sebagai langkah dan upaya untuk mengamankan kekuasaan dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya melalui kekuasaan yang ada. Alasan yang disampaikan dalam pidato politik Presiden SBY juga tidak ada urusannya dengan rakyat.

Tidak ada yang greget untuk kepentingan rakyat. Fokusnya pada pengingkaran terhadap 11 perjanjian atau kesepakatan koalisi sebelum membentuk kabinet. Isu seperti itu secara publik memang menarik dibicarakan karena menaikkan tensi politik. Adrenalin elite-elite politik pada naik semua. Tapi, untuk tujuan yang hakiki seperti kepentingan rakyat, sangat jauh.

Mereka berjibaku berkawan atau berlawanan berpijak apakah bisa saling memberikan keuntungan “materi” kepentingan-kepentingan pragmatisnya. Karena untuk masuk dalam pusaran elit politik ongkosnya sangat besar, dan arena politik juga tidak dipahami sebagai lahan pembuktian amanah mensejahterakan rakyat tapi sebaliknya menjadi sawah dan ladang penghasilan bagi mereka dan para koleganya.Tentu ujung-ujungnya “politik transaksional” seolah lumrah dan rakyat hanya menjadi tumbal awal diraihnya kepentingan-kepentingan tersebut.

Maka realitas politik sekarang oleh sebagian pihak dipandang seperti ajang cari aman saja oleh pemerintah. Dan isu-isu reshuffle menjadi dangkal. Semua melihatnya hanya sebatas Golkar keluar, PKS keluar, Golkar masuk atau apakah PKS masih masuk dalam koalisi. Tidak lagi berbicara pengertian reshuffle agar pemerintahan bisa lebih efektif berjalan.

Dan tidak menjadi suatu yang penting kecuali untuk sebagian orang yang ingin membagi-bagi akses untuk peta politik mereka dan membiayai partai-partai politik mereka untuk Pemilu 2014.Tidak ada isu politik yang berguna bagi masyarakat luas yang mengiringi isu reshuffle, hanya soal kesepakatan apa saja yang pernah mereka buat pada saat pertama berkoalisi.

Semuanya pragmatism dan mereka itu saling terjerat oleh kepentingan masing-masing. Reshuffle disini yang terlihat hanya membagi-bagikan kue kekuasaan pada parpol untuk kenyamanan status quo semata. Reshuffle sama sekali tidak menyentuh faktor ideologi dan sistem ini. Reshuffle hanya akan mengganti orang yang melaksanakan ideologi dan sistemnya itu. Dengan begitu reshuffle tidak akan menyelesaikan masalah dan membawa kebaikan yang hakiki. Sebab, sumber penyakitnya sendiri, yakni idelogi Kapitalisme neoliberal yang diterapkan di negeri ini, tidak pernah disentuh.

Demokrasi: Akar Masalah

Secara sederhana, politik saat ini diartikan sebagai proses interaksi pemerintah dengan masyarakat untuk menentukan kebijakan publik (public policy) demi kebaikan bersama. Sistem politik yang dianut Indonesia adalah demokrasi. Dan fakta empiris dalam negara demokrasi, yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki, yakni sekelompok penguasa (dan pengusaha) saling bekerjasama untuk menentukan kebijakan politik, sosial dan ekonomi negara tanpa harus menanyakan bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.

Partai politik dan wakilnya di Parlemen bekerja lebih untuk memenuhi aspirasinya sendiri.Bukan wakil rakyat yang hakiki. Maka dari itu, tidak ada yang namanya masyarakat yang adil, damai, tenteram dan sejahtera dalam sistem demokrasi. Yang ada justru ketidakadilan yang makin menganga. Kesejahteraan memang ada, tetapi hanya untuk segelintir elit yang berkuasa. Sebaliknya, kebanyakan rakyat sengsara dan menderita; jauh dari gambaran ideal yang diharapkan.

Bagaimana bisa diharap ada keadilan bila sistem demokrasi malah melahirkan banyak pejabat dan penguasa yang lebih pantas disebut penjahat.Namun justrud dengan berbagai manufer berusaha menutupi kejahatan-kejahatannya dengan langkah politik. Kekuasaan diperlukan untuk mendapatkan uang. Uang diperlukan untuk mendapatkan kekuasaan atau kekuasaan yang lebih besar lagi. Kekuasaan dan uang juga diperlukan untuk menutup seluruh kebusukan yang telah dilakukan selama berkuasa.

Maka kira-kira itulah apa yang terjadi dengan kisruhnya para elit yang dipertontonkan saat ini.Dalam kondisi demikian, kepentingan rakyat dengan mudah terabaikan. Bagi penguasa, rakyat hanyalah alat untuk meraih kuasa. Akhirnya, bukan kedaulatan rakyat yang menjadi ‘ruh’ dari sistem demokrasi, melainkan kedaulatan kapital dari para pemilik modal atau penguasa yang didukung oleh para pemodal. Inilah kenyataan!

Saatnya Kembali ke Sistem Islam

Untuk mewujudkan perubahan yang didambakan, jelas tidak cukup hanya dengan bongkar-pasang orang di jajaran kabinet dan lingkaran kekuasaan. Perubahan itu harus dilakukan pada dua wilayah, yakni orang dan sistem. Bahkan perubahan sistem dan ideologi sangat menentukan. Sebab, ideologi dan sistem itulah yang justru akan memformat orang-orang sesuai dengan sistem dan ideologi itu.

Selama sekularisme dengan demokrasinya yang diterapkan, selama itu pula yang terjadi adalah kerusakan dan keterpurukan. Hanya syariah Islam yang bisa menjamin keadilan karena ia berasal dari Zat Yang Mahaadil. Tetap menerapkan sekularisme dengan demokrasinya berarti meninggalkan hukum terbaik, yakni hukum Allah SWT, sebagaimana al-Quran menegaskan:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah [5]: 50).

Untuk itu, negeri ini harus segera mengubur sekularisme, lalu menggantinya dengan akidah dan syariah Islam. Segera tinggalkan demokrasi dengan kedaulatan rakyatnya, lalu ubah dengan sistem Khilafah dengan kedaulatan hukum syariahnya. Inilah yang akan menjamin kesejahteran, keadilan dan keberkahan di dunia serta kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Wallahu a’lam. []