Komnas HAM Bisa Dilaporkan ke Pengadilan Kriminal Dunia ICC

eramuslim.com

by M. Rizal Fadillah

Kekecewaan banyak pihak atas hasil kerja Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memang wajar dan dapat dimengerti. Terlalu banyak pertanyaan yang masih menggantung jawabannya dari hasil penyelidikan yang telah dirilis Komnas HAM pada tanggal 8 Januari lalu. Banyak masalah yang belum dijelaskan oleh Komnas HAM.

Misalnya, soal tembak-menembak, kepemilikan senjata api rakitan, alas hukum pengintaian dan pembuntutan, dan penyiksaan. Siapa komandan di dalam mobil Landcruiser? Berapa nomor polisi mobil Landcruiser? Hingga kendaraan pembuntut berisi petugas yang misterius itu. Pembunuhan yang dikategorikan pelanggaran HAM pun tak terjelaskan tempat kejadiannya. Siapa pelaku penembakan?

Adalah wartawan dan reporter senior FNN.co.id, Eddy Mulyadi yang membeberkan banyak kejanggalan dari rilis Komnas HAM tersebut. Berlembar-lembar analisis kajian disiarkan kepada para pemirsa. Analisis yang tajam, akurat, namun santai, khas jurnalis senior yang dikenal berani ini. Tentu menohok kepada personal Tim penyelidik Komnas HAM yang dipimpin Choirul Anam.

Menyayangkan hasil kerja penyelidikan Tim Komnas HAM yang terkesan sangat mendalam dan mantap. Namun minim sekali hasil yang dapat disampaikan kepada publik. Meskipun menyadari kemungkinan adanya tekanan yang menyebabkan Komnas HAM menjadi kelu dan ragu-ragu.

Bahwa adanya rekomendasi tindak lanjut proses peradilan tentu disambut baik. Walaupun ikut juga disesalkan kesimpulannya yang tidak sampai pada terjadinya pelanggaran HAM berat. Kondisi jenazah yang menyedihkan, karena lebam-lebam, bengkak, cacat di kamaluan, kuku kaki yang lepas semua. Itu  membawa keyakinan bahwa yang terjadi adalah pelanggaran HAM berat.

Telah nyata-nyata dari kondisi jasat enam anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI) mengindikasikan adanya perbuatan petugas yang di luar batas kemanusiaan. Untuk itu, wajar bila masih terdengar tuntutan perlunya penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) Independen. Ini juga sebagai opsi untuk melibatkan lembaga HAM internasional yang mengemuka.

Perlu juga untuk mengagendakan pelaporan ke lembaga peradilan kriminal internasional (Internasional Criminal Court) di Den Haag Belanda. Butuh obyektivitas tinggi untuk mengusut dan menyelidiki kasus yang sangat mungkin dapat berujung pada skandal tingkat tinggi lembaga Kepolisian maupun Pemerintahan. Perlu diusut motif politik dari pembunuhan atau pembantaian tersebut.

Berangkat dari temuan atau kesimpulan “seribu kejanggalan” ini, maka andai kasus “Pelanggaran HAM di kilometer 50 tol Jakarta-Cikampek (Japek)” dapat dibawa ke tingkat peradilan internasional, maka Komnas HAM yang bekerja kelu dan ragu-ragu itu dapat dijadikan pihak terlapor pula.

Komnas HAM dapat diduga sebagai pihak yang telah turut serta mengaburkan peristiwa terjadinya pelanggaran HAM berat terhadap nayawa anak bangsa. Nyawa manusia terkesan dapat dinegosiasi. Karenanya Komnas HAM pantas menjadi pihak yang ikut juga melakukan  “pelanggaran HAM”.

ICC di Den Haag diharapkan dapat menindaklanjuti laporan dari kasus yang diajukan ini. Syarat terpenting adalah “unwillingness”, yaitu tidak ada kemauan peradilan di Indonesia untuk mengadili kejahatan kemanusiaan. Status sebagai “non state parties” tidak menjadi halangan atas tafsiran luas dari pasal 27 dan 28 Statuta Roma.

Kejahatan yang termasuk kategori “international crime” berdasarkan prinsip universal yang berlaku dalam hukum internasional masuk dalam yuridiksi ICC. Tanpa harus melihat nasionalitas pelaku dan tempat perbuatan. Pasal 28 Statuta Roma menegaskan bahwa “atasan baik militer atau sipil harus bertanggung jawab secara pidana terhadap kejahatan yurisdiksi ICC yang dilakukan anak buahnya”.