Politik Islam: Antara Eksekutif dan Legislatif (1)

Oleh : Syamsul Balda (Direktur Smart Leadership Institute)

Pandangan Islam tentang politik bisa ditelusuri dari konsepnya mengenai Tuhan, manusia dan alam semesta sebagai satu kesatuan, yang satu sama lainnya tidak bisa dipisah-pisahkan.

Al-Qur’an memberi petunjuk bagaimana manusia bisa mencapai kehidupan yang selaras dan bermakna dalam hubungannya dengan dirinya sendiri, dengan sesama manusia atau masyarakatnya, dengan gejala-gejala alam yang mengitarinya, dan yang lebih penting lagi dalam hubungannya dengan penciptanya – Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Tahu.

Dengan kata lain, isi Al-Qur’an mencakup empat aspek fundamental dari hubungan manusia, yakni: pertama, hubungan manusia dengan Tuhan; kedua, hubungan manusia dengan dirinya sendiri; ketiga, hubungan manusia dengan sesama manusia; dan keempat, hubungan manusia dengan alam semesta.

Jadi kebahagiaan hidup manusia menurut Islam adalah jika orang itu menemukan keselarasan yang lengkap di dalam empat aspek hubungan itu.

Keselarasan yang dikehendaki Al-Qur’an bukanlah semata-mata keselarasan tindakan seperti dalam agama-agama primitif, atau semata-mata keselarasan moral dan spiritual seperti yang terdapat dalam agama-agama besar di Timur Tengah dan Timur Dekat, juga bukan sekedar keselarasan seperti pada sebagian besar agama di India dan Timur Jauh, tetapi merupakan sebuah keselarasan yang lengkap yang mencerminkan perpaduan komprehensif dari keselarasan atas empat aspek seperti yang sudah diterangkan di atas.

Islam, dengan demikian merupakan sebuah agama penyatu yang lengkap (a religion of complete integration). Untuk pertama kali dalam sejarah kita melihat ajaran mengenai pembangunan manusia melalui integrasi yang utuh dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat, dan dengan alam semesta; dan integrasi ini berdasar pada keyakinan akan adanya Tuhan yang Maha Esa dalam seluruh eksistensi-Nya.

Pemahaman ini memberi pengertian bahwa Islam adalah jalan hidup (the way of life) yang sempurna, memenuhi seluruh aspek dan seluruh institusi keberadaan manusia. Seorang Muslim percaya bahwa Islam menyediakan pedoman untuk segala segi kehidupan – individu dan sosial, material dan spiritual, hukum dan kebudayaan, ekonomi dan politik, nasional dan internasional.

Islam merupakan jalan hidup yang total dan utuh, yang menyangkut baik ukhrawi dan duniawi; merupakan seperangkat keyakinan dan tata peribadatan, suatu sistem hukum yang total dan utuh, merupakan suatu peradaban dan kebudayaan; dan oleh karenanya menyediakan sistem politik dan metode pemerintahan. Sebagai konsekwensinya, agama dan politik menurut sumber dan dasarnya adalah merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.

Dengan demikian, konsep yang paling fundamental di dalam Islam yang disebut Tauhid (ke-Esaan Tuhan), bukanlah semata-mata merupakan dogma, tetapi juga merupakan suatu konsep praktis yang mencakup bukan hanya segenap aspek kehidupan manusia, tetapi juga seluruh institusinya. Ini karena kenyataan bahwa Islam menyatakan dirinya sebagai agama monoteis, dan juga seluruh fungsi-fungsinya baik sosial, spiritual, moral atau politik memang ditujukan untuk realisasi Tauhid itu.

Terhadap latar belakang konseptual dan teoritis yang dengan mudah bisa difahami ini, pandangan Islam tentang politik dapat dianggap sebagai hal yang unik, mencakup karakter dan fungsi yang terdapat di dalamnya.

Tetapi itu bukan demokrasi, sosialisme, autokrasi maupun sekularisme menurut pengertian yang digunakan dan difahami dunia modern, sungguhpun beberapa ilmuwan Islam lebih suka menganggap salah satu dari ideologi-ideologi itu tidak berbeda dengan sistem politik Islam.

Tidak mustahil bahwa kesulitan-kesulitan itu timbul dari istilah-istilah yang kita gunakan ketika memperbincangkan fungsi negara dan politik, seperti hukum, kedaulatan, hak-hak asasi manusia, keadilan, kebebasan, kemerdekaan, dan sebagainya.

Kesamaan-kesamaan istilah itu sering menimbulkan kebingungan karena konsep-konsep Qur’ani mengenai pengertian-pengertian itu secara tegas berbeda dengan pengertian yang dipakai oleh dunia modern. Oleh karenanya, kita, demi kepentingan itu mesti menggunakan istilah yang sama, seraya mencoba menerangkan dengan pengertian apa istilah-istilah itu dipakai dalam Al-Qur’an.

Pandangan Islam tentang Politik

Politik adalah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. Oleh sebab itu Islam dan umat Islam memberi perhatian besar pada masalah politik.

Dalam hal ini, Ibnul Qayyim mengemukakan, “Allah swt mengutus para Rasul untuk menurunkan kitab-kitab suci-Nya, agar manusia melaksanakan keadilan yang ditegakkan sesuai dengan prinsiop-prinsip langit dan bumi.

Jika keadilan muncul dan terlihat dalam bentuk apapun, maka itulah syari’at Allah dan agama-Nya. Bahkan Allah swt telah menjelaskan bahwa garis-garis yang telah ditetapkan itu dimaksudkan untuk mewujudkan keadilan di kalangan hamba-hamba-Nya dan agar manusia berbuat adil di muka bumi.

Cara apa pun yang ditempuh jika sesuai dengan garis-garis yang telah dijelaskan untuk mewujudkan keadilan adalah bagian dari agama dan tidak bertentangan dengannya. Jadi tidak dapat dikatakan bahwa politik yang berkeadilan itu bertentangan dengan apa yang dikatakan oleh syari’ah, melainkan ia sesuai dengan apa yang dibawa oleh syari’ah dan bahkan bagian integral dari padanya.”

Sedangkan Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’ . Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Agil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan oleh Rasulullah saw atau dibawa oleh wahyu Allah swt.

Politik dalam pengertian menangani permasalahan-permasalahan komunitas telah disyari’atkan oleh Allah dan diperintahkan serta menjadi bagian tugas kerasulan, sebagaimana firman Allah swt:

“Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan.” (QS. Al-Hadid:25).

Keadilan yang menjadi tugas para Rasul Allah itu tidak akan terwujud tanpa dengan menerapkan syari’at-Nya yang diturunkan kepada mereka yang berakhir dengan diturunkannya Al-Qur’an Al-Karim serta dijelaskan dengan Sunnah Nabawiyyah dalam rincian aturan hokum-hukuim-Nya.

Oleh sebab syari’ah mencakup semua aspek kehidupan, maka anggapan yang mengatakan bahwa Islam hanyalah agama spiritual yang tidak ada hubungannya dengan masalah politik dan kenegaraan merupakan kesimpulan ngawur tanpa landasan. Lebih lanjut anggapan keliru tersebut mengatakan bahwa untuk menjaga kemurnian agama, maka agama harus dipisahkan dari politik dan menjauhkan agamawan dari masalah politik.

Implikasi anggapan seperti ini adalah bahwa agama tidak mengurusi masalah-masalah negara dan yang mengurusi masalah negara hanyalah orang-orang yang tidak beragama, serta yang mampu mengurusi masalah-masalah politik harus menjauhkan diri dari agama, seolah Al-Qur’an tidak mengajarkan kaum muslimin untuk beragama secara kaaffah; tidak mengajarkan bagaimana mengurusi masalah-masalah hidup mereka. Yang mengherankan, bagaimana segelintir ulama berani mendukung anggapan parsial tentang Islam seperti ini?

Antara Islam dan aturan agama selain Islam terdapat perbedaan mendasar yang tidak dapat dipertemukan. Hal ini diketahui secara baik oleh para ulama dan politisi Muslim. Akan tetapi pada saat dimana sekelompok orang yang mengaku ‘cendekiawan Muslim’ mengklaim bahwa menjauhkan Islam dari kehidupan beragama menjadi prasyarat untuk meraih kemajuan dan peradaban.

Jauh sebelum mereka lahir, para pemikir Eropa telah menegaskan bahwa Islam berbeda dengan agama-agama lain secara mendasar. Sebagai contoh Dr. Lora Faglary menyatakan, “Islam adalah agama dan negara dalam arti yang sebenarnya. Khalifah dalam masyarakat Muslim bukanlah seorang pemimpin agama atau bebas dari dosa, atau mengaku mendapat otoritas dari Tuhan untuk bebas memberi penafsiran teks-teks Al-Qur’an. Atau ia menjadi perantara antara Tuhan di langit dan manusia di bumi.

Khalifah dalam Isl;am adalah seorang manusia Muslim biasa dalam memahami agama. Umat tidak harus taat secara buta selain dalam penguasa sipil dari segala sudut, bukan penguasa agama yang mendapatkan kekuasaan dari ‘Dekrit Tuhan’.” Sedangkan Paul Schmitz mengatakan, “Istilah Khalifah bagi kaum muslimin mempunyai makna wakil atau yang menggantikan, atau utusan nabi Muhammad mewakilkan seseorang atas kota Mazdinah untuk menangani urusan umat Islam.”

Sedangkan Imam Syahid Hasan Al-Banna memiliki pendapat yang lebih luas dan dalam tentang hubungan antara Islam dan politik, dalam pernyataannya sebagai berikut:

Islam itu bukan sebagaimana makna yang dikehendaki para musuh agar umat Islam terkurung dan terikat di dalamnya.

Islam adalah aqidah dan ibadah, negara dan kewarganegaraan, toleransi dan kekuatan, moral dan material, peradaban dan perundang-undangan. Sesungguhnya seorang muslim dengan hokum Islamnya dituntut untuk memperhatikan semua persoalan umat. Barangsiapa yang tidak memperhatikan persoalan kaum muslimin, dia bukan termasuk golongan mereka.

Saya yakin para Salafus shalih- semoga Allah melimpahkan ridha kepada mereka- tidak memahami Islam selain dengan makna ini. Dengannya mereka berhukum, demi kejayaannya mereka berjihad, di atas kaudah-kaidahnya mereka bergaul dan berinteraksi, serta pada batas-batasnya mereka mengatur urusan dariurusan-urusan kehidupan dunia yang operasional, sebelum nantinya urusan-urusan akherat yang spiritual. Semoga Allah berkenan memberi rahmat kepada Sang Khalifah Perdana tatkala beliau berkata,”Seandainya tali ontaku hilang, tentu aku akan mendapatkannya dalam Kitabullah.”

Setelah batasan global dari makna Islam yang syamil dan substansi makna politik yang tidak terkait dengan kepartaian ini, saya bisa mengatakan secara terus terang bahwa seorang muslim tidak akan sempurna Islamnya kecuali jika ia seorang politisi, mempunyai jangkauan pandangan yang jauh, dan mempunyai kepedulian yang besar terhadap umatnya.

Saya juga bisa katakana bahwa pembatasan dan pembuangan makna ini( pembuangan makna politik dari substansi Islam, pent.) sama sekali tidak pernah digariskan oleh Islam. Sesungguhnya setiap jam’iyah Islamiyah harus menegaskan pada garis-garis besar programnya tentang perhatian dan kepedulian jam’iyah tadi terhadap persoalan-persoalan politik umatnya. Kalau tidak seperti itu, jam’iyah tadi butuh untuk kembali memahami makna Islam yang benar.

Biarkan saya untuk bersama kalian berpanjang lebar dalam menegaskan makna ini, di mana hal itu mungkin sesuatu yang mengejutkan dan asing di mata mereka-mereka yang terbiasa mendengarkan senandung pemisahan antara Islam dan politik.

Mungkin pula setelah penegasan ini, setelah selesainya acara ini, akan ada sebagian orangf yang mengatakan,”Sesungguhnya jama’ah Ikhwanul Muslimin telah menanggalkan mabda’-mabda’ nya , telah keluar dari sifat-sifatnya, dan menjadi sebuah jama’ah politik, setelah sebelumnya merupakan jama’ah keagamaan.”

Kemudian setiap orang yang gemar menduga-duga akan terus melakukan berbagai takwil dengan berdasar kepada sebab-sebab perubahan menurut pandangannya itu. (bersambung)