Masalah Kartu Kredit Dan Laba Pertamina: Menggugat Peran Ahok Dan Presiden Jokowi!

IRESS dan rakyat pasti mendukung setiap upaya efiesiensi yang dilakukan BUMN. Namun, terkait peran Ahok dalam isu CCC, kartu reperesentatif dan laba Rp 15 triliun, kita perlu menanggapi.

Tujuannya, agar rakyat memperoleh informasi yang benar, serta tidak terkecoh menjadi korban pencitraan dan manipulasi informasi. Berikut uraiannya.

Pertama, urusan penghentian fasilitas CCC merupakan wewenang yang bisa diselesaikan melalui mekanisme Rapat Dewan Komisaris dengan Direksi sesuai Pasal-pasal 60 dan 64 PP 45/2005 tentang BUMN.

Tidak perlu sampai diputuskan oleh RUPS. Mengapa harus via RUPS? Hubungan Komisaris-Direksi bermasalah? Atau karena kepentingan pencitraan?

Kedua, dengan menyebut limit CCC hingga Rp30 miliar, publik bisa tergiring persepsi negatif: fasilitas manajemen berlebihan, boros, mewah, potensial menyeleweng dan minim empati pada rakyat.

Terkesan, Ahok bersih yang lain kotor. Padahal menurut Arya limit CCC Rp50 juta-Rp100 juta.

Publik bisa pula terkesan bahwa Ahok berhasil menghemat dana besar puluhan miliar Rp.

Padahal limit CCC hanya sekitar Rp100 juta dan jika digunakan untuk kepentingan perusahaan, serta sesuai aturan dan prinsip GCG, apa masalahnya?

Ketiga, CCC biasa dan lumrah digunakan korporasi guna mendukung kelancaran operasi, pelayanan dan peningkatan kinerja.

Maka, wajar jika manajemen memutuskan layak tidaknya penggunaan CCC setelah mempertimbangkan berbagai aspek secara seksama.

Dari informasi internal yang diperoleh IRESS, kebijakan bersifat Top-Down, manajemen “tidak berminat” menghadapi Komut yang dikesankan sangat dominan, untuk tidak mengatakan otoriter.

Padahal rakyat butuh keberanian, independensi dan keteguhan sikap direksi, sesuai PP 45/2005, demi kemajuan BUMN dan kemakmuran rakyat.

Kekhawatiran rakyat bisa muncul: jangankan Menteri BUMN, Presiden Jokowi pun mungkin tidak leluasa kendalikan Ahok. Apalagi hanya sekedar “klarifikasi” direksi.

Kita berharap kekhawatiran ini salah. Maka, kita menuntut Presiden Jokowi segera bersikap dan menertibkan Ahok.

Keempat, Ahok telah mengancam manajemen Pertamina akan membuka kepada publik perihal penggunaan CCC berlimit puluhan miliar Rp. Terkesan, telah terjadi penyelewengan meluas, termasuk oleh top manajemen.

Ancaman ini bisa berarti tuduhan pidana. Padahal isu CCC ini konon bermula dari segelintir karyawan yang menyeleweng. Mayoritas tetap taat aturan. Dengan ancaman ini nama baik dan harkat eksekutif Pertamina telah tercoreng!

Sebenarnya, jika ingin menuntaskan secara mulus dan efektif, Ahok bisa menggunakan organ Komite Audit yang built-in dalam lembaga Komisaris Pertamina, tanpa perlu cuap-cuap.

Apalagi diiringi dengan ancaman. Mengapa organ tersebut tidak difungsikan? Ada sensasi dan pencitraan yang ingin diraih?