Masalah Kartu Kredit Dan Laba Pertamina: Menggugat Peran Ahok Dan Presiden Jokowi!

Bagi rakyat, terserah siapa pun pelaku penyelewengan CCC, hanya segelintir oknum atau melibatkan top manajemen, maka kasus CCC yang “memuat ancaman” Ahok ini harus tuntas.

Kasus tidak boleh berhenti hanya pada ancaman. Direksi pun harusnya terusik jika terpersepsi negatif. Rakyat menuntut agar dilakukan audit menyeluruh oleh auditor indpenden.

Kelima, sejalan uraian di atas, kasus CCC dan ancaman Ahok dapat diartikan hubungan Dewan Komisaris dengan Dewan Komisaris tidak berjalan mulus sesuai aturan. Bisa saja Direksi tidak patuh pada perintah Komut.

Sebaliknya, guna menghadapi Direksi, Ahok mungkin butuh dukungan publik, sehingga perlu sensasi dan pemantik penarik perhatian.

Sudah jadi rahasia umum, partai penguasa berperan menentukan siapa yang menjabat di BUMN, terutama yang strategis dan beromset ratusan triliun rupiah. Sebaliknya, Presiden sangat berkepentingan memberi Ahok jabatan penting.

Ahok pernah menyebut Presiden Jokowi bisa jadi Presiden karena didukung pengembang (19/8/2016). Maka, meskipun banyak yang menilai tidak qualified, terduga berbagai kasus korupsi, Ahok tetap dipaksakan jadi Komut Pertamina.

Bisa saja terjadi, kepentingan partai, yang dijalankan “sebagian” eksekutif/manajemen Pertamina, tidak sama dengan kepentingan “Pimpinan Tertinggi” (termasuk menteri-menteri tertentu) yang diperankan Ahok.

Perbedaan kepentingan ini dapat membuat hubungan Komisaris-Direksi tidak kondusif. Maka untuk mencapai suatu “goal” tertentu, bisa saja dukungan publik dan buzzeRp perlu “dimainkan”, seperti disebutkan di atas.

Kondisi ini jelas merugikan negara dan rakyat. Rakyat bisa saja menilai Pertamina saat ini dikelola layaknya Badan Usaha Milik Nenek Lu, seperti pernah diungkap Menteri BUMN (26/2/2020).

Karena itu, kita menuntut Presiden Jokowi menjalankan fungsi sebagai The Real President, yakni membebaskan BUMN/Pertamina dari objek kepentingan sempit, termasuk bebas dari komisaris-direksi yang tidak qualified atau sekedar menjalankan agenda partai.

Keenam, terkait dana representatif, Ahok pun menebar ancaman.

Hal ini memberi kesan ada yang salah dalam penggunaan dana tersebut. Padahal, dana representaif merupakan hal yang lumrah berlaku bukan saja di BUMN-BUMN, tetapi juga di berbagai instansi negara.

Uang representatif diberikan kepada sebagian pejabat yang melakukan perjalanan dinas, di Kementerian, DPR, MPR, DPD, MA, MK, DPRD, dll., hingga pejabat pada level tertentu.