Masalah Kartu Kredit Dan Laba Pertamina: Menggugat Peran Ahok Dan Presiden Jokowi!

Jika keberlakuannya memang lumrah dan meluas, mengapa pula Ahok mengancam: “Direksi tidak pernah ngaku kepada Dekom ada uang representatif sampai hari ini jika ditanya” (17/06/2021).

Jika ingin membatasi atau menghilangkan dana representatif, Dekom, Menteri BUMN/Keuangan atau Pemerintah bisa saja membuat peraturan baru. Namun, sepanjang belum ada perubahan, maka ancaman Ahok tidak relevan, kecuali hanya untuk sensasi.

Sebenarnya, dalam kondisi pandemi Covid-19 semakin parah, rakyat miskin bertambah, tax ratio terus turun (hanya 7-an persen!), defisit APBN meningkat dan utang semakin besar, rakyat pantas menuntut dana representatif dihapus.

Bahkan rakyat pun wajar menuntut agar gaji dan  tunjangan Presiden, DPR dan para pejabat negara, termasuk BI dan BUMN dipotong.

Ketujuh, laba Pertamina 2020 sekitar Rp15 triliun bukanlah prestasi yang pantas diapresiasi, apalagi jika dianggap sebagai prestasi Ahok.

Sebab, laba tersebut diperoleh dari kebijakan yang melanggar aturan buatan pemerintah sendiri, terutama oleh Kementrian ESDM dan Ahok sebagai Komut mewakili pemerintah.

Laba Rp15 triliun diperoleh dari kebijakan merampas hak rakyat memperoleh harga BBM yang lebih murah karena turunnya harga minyak dunia.

Sejak 2015 rakyat sudah biasa mengalami naik-turunnya harga BBM. Harga berubah terutama sesuai perubahan variable harga minyak dunia dan nilai tukar Rp terhadap US$.

Hal ini diatur secara garis besar dalam Perpres No.191/2014. Operasional Perpres ini dituangkan dalam Formula Harga BBM yang diterbitkan Kementrian ESDM dalam bentuk Kepmen secara rutin setiap 1 atau 3 bulan mengikuti kedua fluktuasi variable harga tsb.