Memperbaiki Moral AS, Antara Harapan dan Kenyataan

Dalam wawancara pertamanya setelah terpilih menjadi presiden AS di program 60 Minutes CBS News, Barack Obama memastikan akan menarik pasukan AS dari Irak dan menutup kamp penjara Guantanamo sebagai bagian dari upaya memperbaiki moral AS di mata dunia.

Pernyataan ini Obama mendapat respon positif, karena sudah lama publik AS menginginkan pemerintahnya menutup kamp penyiksaan itu. Kamp penjara Guantanamo dibangun untuk memenjarakan orang-orang dari berbagai negara, yang oleh AS dituduh anggota atau terlibat dengan terorisme.

Begitu juga dengan perang Irak, sudah lama publik AS menginginkan AS menarik pasukannya dari Irak karena terbukti perang Irak dikobarkan atas dasar kebohongan dan sudah terlalu banyak tentara-tentara AS yang dikorbankan untuk perang yang tak jelas juntrungannya itu.

Wajarlah, kalau banyak orang yang memuji janji-janji Obama. Terutama mereka yang beharap Obama akan mengubah kebijakan-kebijakan luar negeri ala Presiden George W. Bush yang lebih senang menggunakan peralatan militer untuk menghadapi lawan-lawannya, ketimbang langkah diplomasi.

Pernyataan Obama dalam wawancaranya di 60 Minutes menyiratkan bahwa moralitas negara AS kini sedang berada di titik nadir dan harus direparasi, sehingga tidak ada lagi sentimen dan kebencian masyarakat di berbagai belahan negara terhadap AS seperti yang terjadi saat ini.

Mereka yang masih terkagum-kagum pada Obama mungkin akan dengan mudahnya mempercayai ucapan Obama. Tapi jika dilihat lebih mendalam, sulit mempercayai Obama bisa memperbaiki moral negara AS. Persoalannya, bukan sekedar memperbaiki moral tidak semudah membalik telapak tangan mengingat fenomena tindak kriminal dan pelanggaran hukum yang dilakukan pasangan Bush-Cheney sudah sangat sistematis dan kronis.

Laporan-laporan media dan studi-studi akademis mendokumentasikan dengan baik kejahatan-kejahatan berat maupun ringan yang dilakukan oleh pemerintahan Bush. Kejahatan-kejahatan berat itu antara lain, invasi yang kemudian menjadi penjajajahan AS atas Irak, kebijakan penyiksaan secara sistematis, penangkapan ribuan orang Amerika dan orang asing tanpa tuduhan yang jelas dan tanpa disertai surat penangkapan, kebijakan memata-matai rakyatnya sendiri tanpa persetujuan dari pihak berwenang dan pernyataan-pernyataan Bush yang mengatakan bahwa sebagai presiden, ia yang memutuskan apakah akan mematuhi peraturan atau tidak .

Sebagai presiden Obama punya tanggung jawab besar untuk membenahi persoalan hukum ini dimana regim pendahulunya bekerja seolah-olah tidak ada hukum di negara mereka dan bekerja berdasarkan ambisinya sendiri. Penulis dan analis Ralph Nader dalam artikelnya yang dimuat di situs Counterpunch bahkan menyebut rezim Bush sebagai rezim kriminal dimana banyak kejahatan yang dilakukan oleh rezim tersebut.

Perang Melawan Teror

Dalam soal Irak, seharusnya masyarakat dunia tidak senang dulu ketika mendengar Obama akan menarik pasukan AS dari Irak sebagai bagian dari upayanya memperbaiki moral AS. Perlu diingat bahwa Obama beberapa kali menyatakan akan melanjutkan “perang melawan terror” yang sudah dilakukan rezim Bush. “Perang ini, perang melawan terror, harus kita menangkan,” begitu kata Obama dalam sebuah kesempatan.

Dan bagi Obama, pusat “perang melawan terror” adalah Afghanistan, bukan Irak. Tak heran kalau Obama menyatakan akan menarik pasukannya dari Irak, tapi penarikan pasukan itu dilakukan untuk dikirim ke Afghanistan. Lantas apa makna pernyataan Obama tetang memperbaiki moral AS, jika masih melakukan penjajahan terhadap bangsa lain. Moral seperti apa yang akan dibangun Obama untuk memperbaiki citra AS sebagai negara yang senang mengobarkan perang.

Selama delapan tahun belakangan, reputasi AS mengalami kehancuran karena aksi-aksi militernya ke negara lain dan sulit membayangkan AS mampu memulihkannya kembali jika masih menerapkan konsep perang dan dengan seenaknya membombardir wilayah negara lain.

Terlebih lagi di Irak, militer AS justru sedang berusaha untuk mengulur waktu penarikan pasukannya dengan membujuk pemerintah Irak agar mau menandatangani Status of Forces Agreement (SOFA). Seharusnya AS sudah harus mulai angkat kaki dari Irak begitu mandat yang diberikan PBB berakhir bulan Desember mendatang. Tapi dengan SOFA, AS meminta agar diberikan tenggang waktu sampai 2011 sebelum menarik seluruh pasukannya dari Negeri 1001 Malam itu. Bahkan selama tenggang waktu itu, AS meminta agar pasukannya diberi imunitas hukum, tidak dikenai tuntutan jika melakukan pelanggaran hukum terhadap rakyat Irak. Bukan tidak mungkin setelah 2011 nanti, AS akan mencari-cari alasan lagi agar tetap bisa menjajah Irak.

Belakangan juga terungkap bahwa AS berhasil membujuk kepala pemerintahan negara bonekanya, Pakistan dan Afghanistan agar mau bersama-sama memburu para anggota al-Qaida. Dan untuk itu, AS minta keleluasaan untuk melakukan serangan terutama ke wilayah Afghanistan. Kenyataannya, serangan-serangan AS ke desa-desa di pedalaman Afghanistan kebanyakan membunuh warga sipil tak berdosa termasuk perempuan dan anak-anak. Belum jelas, bagaimana kebijakan perbaikan moral presiden baru AS dalam masalah ini. Tentu saja harapannya, orang yang bermoral tidak akan melakukan apalagi melanjutkan kebijakan seperti ini.

Jikapun AS menarik pasukannya dari Irak atau Afghanistan sekalipun, bagaimana tanggung jawab AS terhadap negara-negara yang telah terhancur dihancurkannya, bukan hanya fisik tapi juga mental dan kehidupan social masyarakatnya. Akankah AS masih punya moral untuk memperbaikinya ?

Selain itu, moral Obama sendiri sebagai presiden AS perlu dipertanyakan karena ia mendukung Israel yang jelas-jelas melakukan penindasan dan penjajahan di Palestina. Obama juga menyatakan mendukung solusi dua negara bagi konflik Israel-Palestina tanpa pernah memberikan dukungan pada mayoritas rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri.

Persoalan Guantanamo

Obama dengan entengnya bisa saja mengatakan akan menutup kamp penjara Guantanamo yang telah mencoreng citra negara AS sebagai negara yang mengklaim menghormati hak asasi manusia. Pertanyaannya, apa yang akan dilakukan Obama terhadap ratusan tahanan di Guanatamo jika kamp tersebut ditutup? Memindahkannya ke penjara lain? Mengadilinya? Jikapun diadlili, pengadilan macam apa yang akan digelar AS?

Apapun alasannya, kamp penjara Guantanamo memang harus ditutup. Yang terpenting adalah tanggung jawab AS yang telah melakukan penangkapan tanpa prosedur hukum yang jelas, melakukan penyiksaan secara brutal dan keji terhadap para tahanan.Termasuk tanggung jawab apa yang akan ditunjukkan AS karena banyak tahanan-tahanan di Guantanamo yang tidak bersalah.

American Civil Liberties Union (ACLU) mendesak presiden Obama agar dalam waktu 100 hari sudah menutup kamp penjara Guantanamo.

“Presiden baru akan menjadi pimpinan eksekutif selannjutnya dari sebuah bangsa yang makin melemah, khususnya dalam masalah kebebasan, nilai-nilai dan reputasi internasional AS yang digerogoti oleh kebijakan-kebijakan tak berperikemanusiaan selama delapan tahun belakangan ini,” kata ACLU dalam pernyataannya.

“Tidak mudah memang untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi selama bertahun-tahun dalam masalah hak asasi, tapi jika presiden punya tekad kuat unuk memperbaiki nilai-nilai yang selama ini dibangga-banggakan oleh AS ke seluruh dunia, maka perubahan harus segera dilakukan, “ tegas ACLU.

Obama punya waktu empat tahun ke depan untuk membuktikan bahwa ia mampu memperbaiki moral negara AS. Namun sayangnya, dari awal, pernyataan Obama yang ingin memperbaiki moral negaranya ternyata terkesan cuma sebagai lips service. Karena di sisi lain, Obama masih menunjukkan sikap yang justru bertentangan nilai-nilai moral yang berlaku universal. Bagaimana Obama bisa memperbaiki moral negaranya, kalau sikap moralnya sendiri masih dipertanyakan. Obama ingin mengakhiri penjajahan di suatu negara, tapi ia mendukung penjajahan di negara lain. Bermoralkah itu? (ln/berbagai sumber)