Menurut UUD 45 Jokowi Tidak Bisa Dilantik

Komisi III melaksanakan fit and proper test untuk calon hakim MK sejak Senin (3/3) hingga hari ini dengan didampingi 8 orang tim pakar. Sebanyak 11 orang calon hakim diseleksi untuk mencari pengganti Akil Mochtar yang ditangkap KPK dan Harjono yang akan pensiun.

Semakin rumit pilpres kali ini mangkanya Jokowi berbalik arah untuk menggandeng Prabowo. Mengapa? Ma memang disamping tidak mempunyai legitimasi, juga tidak bisa dilantik tanpa power sharing dengan Prabowo.

Jika mengacu pada pilpres harusnya Prabowo yang menang. Sebab persyaratan menang tercukupi tapi sayang di rekayasa untuk kalah oleh KPU. Tetapi ternyata ada persoalan yang lebih urgent dibanding dengan sekedar memenangkan angka dengan kecurangan TSM.

Rupanya “becik ketitik oloh ketoro” berlaku dalam hukum pilpres. “Becik Ketitik Olo Ketoro“ berarti segala sesuatu perbuatan yang baik pasti akan menuai kebaikan, dan setiap perbuatan buruk dan jahat akan terkuak dikemudian.

Sopo Sing Salah Bakal Saleh = orang yang berbuat salah akan memetik buah jeleknya. Lama kelamaan perbuatan itu akan ketahuan pula.

Jadi kecurang yang dilakukan secara terstruktur, tersistem dan masif akan terbuka walau ditutup-tutupi. “Gusti Alloh mboten sare”. Ungkapan nasehat yang sederhana ini adalah ungkapan keikhlasan terhadap keadaan ungkapan pasrah dengan ikhlas. Tentu tidak ada didunia ini tanpa sepengetahuan sang khaliq termasuk sehelai daun yang jatuh.

Apakah proses pilpres ini akan begitu mudah Jokowi bisa dilantik? Tentu saja butuh kenegarawanan semua pihak yang menjunjung UUD 1945 yang merupakan kesepakatan bertatanegara.

Menurut Mahfud MD amandemen tambahan UUD 1945 harus mengubah dulu pasal 37.

Kompas.com 15 April 2008 berjudul “Mahfud MD : Amandemen UUD1945, ya diubah dulu pasal 37”

Cuplikannya :

Secara prosedural, saat ini UUD 1945 tidak mungkin diubah secara komprehensif karena ketentuan pasal 37 UUD 1945 tidak memungkinkan hal itu.

Jika ingin mengubah UUD 1945 secara komprehensif yang harus dilakukan adalah merubah pasal 37 UUD 1945. Demikian disampaikan Guru Besar Fakultas Hukum UII dan Hakim Konstitusi pada Mahkamah Konstitusi Mahfud MD dalam acara yang membahas perubahan UUD 1945 di Hotel Borobudur, Jakarta, Selasa (15/4).

Menurut Mahfud dalam pasal 37 UUD 1945 ayat (1) dan (2) menentukan bahwa perubahan hanya dilakukan pada pasal-pasal yang dianggap perlu diubah dan tidak secara satu paket yang komprehensif. “Oleh sebab itu jika kita menghendaki dilakukannya amandemen lanjutan secara komprehensif yang pertama-tama harus dilakukan adalah mengubah atau mengamandemen pasal 37 UUD 1945,” katanya.

Perubahan pasal 37 UUD 1945, lanjut Mahfud, dapat diarahkan pada dua alternatif yakni pertama, perubahan UUD ditetapkan oleh MPR tetapi naskahnya disiapkan oleh sebuah komisi negara yang khusus dibentuk untuk menyiapkan rancangan UUD. “Dalam cara yang demikian MPR tinggal melakukan pemungutan suara tanpa membahas lagi rancangan yang telah disiapkan oleh komisi negara tersebut,” katanya.

Komisi negara ini, lanjut Mahfud, harus terdiri dari negarawan atau tokoh-tokoh yang integritasnya dikenal luas serta tidak partisan. “Komisi negara dapat dibentuk oleh MPR yanganggotanya dapat diusulkan oleh presiden, masyarakat, dan lembaga-lembaga lainnya,” ujarnya.