Merdeka, Kemiskinan, dan Utang

Eramuslim.com -DI usia 72 tahun, negeri ini masih menghadapi berbagai masalah dan persoalan. Mulai dari masalah kemiskinan, utang yang menumpuk, korupsi berjamaah, kejahatan narkoba dan kejahatan jalanan yang semakin marak, sampai masalah ketimpangan sosial dan ekonomi yang masih tinggi.

Pada peringatan HUT Kemerdekaan RI ke 72, kehidupan rakyat miskin yang tinggal di kolong jembatan, rumah kardus, rumah gerobak, gelandangan dan para pengemis dijalanan, masih saja ada. Masih banyak rakyat Indonesia sehari makan sehari tidak, tak mampu menyekolahkan anak-anaknya, tak mampu membeli makanan bergizi sehingga anak-anak terserang penyakit gizi buruk, belum tersentuh listik, jalanan dibiarkan rusak, jembatan putus, dan lainnya.

Juga masih banyak para kaum dhuafa, para janda yang ditinggal mati suami, anak yatim dan rakyat miskin lainnya yang harus bertahan hidup dalam himpitan ekonomi. Kondisi ini sungguh tidak adil. Bahkan, diperkirakan, hanya 1 % rakyat menikmati kemerdekaan. Lihatlah kini ratio versi BPS, tahun 2014 sudah 0,41.

Hasil riset lembaga keuangan Crédit Suisse menunjukkan, pd 2016 angka gini ratio sudah mencapai 0,49. Maknanya, 1 % orang terkaya menguasai 49 % kekayaan Indonesia. Ini sungguh ketimpangan luar biasa. Lalu, apa makna membedakan bagi rakyat kebanyakan setelah 72 tahun proklamasi 17 Agustus 1945.

 Tak hanya itu negeri ini juga masih memiliki utang yang menumpuk dan belum bebasnya Indonesia dari ‘jajahan’ asing secara ekonomi. Sebagai bangsa yang besar dan memiliki berbagai macam kekayaan alamnya dan sumber energi yang besar, ternyata Indonesia masih dibelit utang. Tidak tanggung-tanggung, utang negara Indonesia per Juni 2017 tercatat sebanyak Rp3.672 triliun.
Para pakar ekonomi memprediksi, Indonesia akan dijajah utang dari luar negeri hingga 2040 mendatang. Dalam hitungan per Juni 2017 mencapai Rp4.364,767 triliun.

Kita memang sudah merdeka, Namun, seharusnya kemerdekaan itu diisi dengan adanya rasa malu dari para pemimpin bahwa kemiskinan masih ini.Mereka harusnya malu tidak mampu memberikan hidup sejahtera dan nyaman bagi rakyat yang dipimpinnya.

Untuk merayakan kemerdekaan negeri ini, mari kita renungkan sebuah puisi yang ditulis seorang aktivis Hatta Taliwang dengan judul “Puisi Untuk Penguasa Negeri”: …Teroris keliaran seperti tikus got…transaksi narkoba bak produk home industri…koruptor seliweran bagai kucing kurap…tawuran digelar kayak seremoni…pengemis dipersimpangan berkerumun bagai ikan dalam keramba…penganggur berjubel layaknya bonek…TKW pulang dalam peti mati laksana oncom…wahai penguasa dimanakah engkau…?

…Lihatlah para petani menjerit karena biaya produksi tinggi dari hasil panen, nelayan menangis dan mengerang karena angin ombak tak kenal musim, warung dan kios rakyat menggelepar diterjang minimarket dan mall…para orangtua merintih tak kuasa cari biaya sekolah untuk putra-putri…ibu-ibu di pasar berwajah muram karena harga sembako terus naik… penguasa membakar pabrik tak kuat bersaing produk impor…buruh-buruh bersiap masuk dalam lorong gelap kehidupan…wahai penguasa negeri ini dimanakah kau simpan citra itu?!

Pada momentum Peringatan Kemerdekaan RI 72 ini, kita sebagai Bangsa yang memiliki sejarah keberhasilan dalam pergerakan menghapuskan kolonialisme bersama negara-negara Asia Afrika, sudah selayaknya untuk benar-benar mengangkat kembali semangat anti kolonialisme dan kepribadian yang unggul dalam politik nasional.

Kini saatnya di tengah ketertinggalan kita dari bangsa-bangsa di Asia lainnya, kita harus berbenah dan bangkit bersama mewujudkan cita-cita kemerdekaan seperti yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Bangsa Indonesia akan tertinggal oleh negara-negara Asia lainnya jika terus mempertajam perbedaan suku, agama, ras dan golongan dalam kehidupan sosialnya. Pun ketika para pejabat publik masih memiliki moral rendah terhadap praktek KKN warisan Orde Baru yang menghambat kemajuan RI. (kl/ht)