MK (+KPU dan Bawaslu) Vs MA (dan Rakyat yang Dizalimi)

Dalam Ilmu Politik, Pemilu adalah proses suksesi pemerintahan yang dilaksanakan secara periodik tanpa kekerasan dengan prinsip free and fair (bebas dan jujur).

Dalam kompetisi tersebut tidak boleh menggunakan kekerasan; ada partisipasi penuh; ada pula civil and political liberties (paling tidak terdapat kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan menyatakan pendapat). Oleh karena itu membaca putusan MA tidak dapat sebatas pada putusan MK itu final dan mengikat dan putusan MA tidak berpengaruh.

Perspektif Ilmu Politik masalahnya lebih kompleks, terutama tingkah laku politik elit yang berkuasa. Putusan MK, yang hasil pemilunya sudah dimenangkan oleh KPU dan oleh Bawaslu, memiliki dampak politik terhadap “legitimasi” kekuasaan yang dimilikinya. Kenapa? Proses politik dalam penyelenggaraan pemilu tidak bebas dari berbagai masalah. Hampir seribuan pekerja pemilu yang meninggal; 500an yang protes di depan bawaslu ditahan dan 10an yang “ditembak” meninggal; DPT bermasalah (TKA yang punya e-ktp; orang gila boleh memilih; e-ktp yang tercecer); IT KPU ( C1nya berbeda dengan C1 Plano); Money Politics; Penggunaan APBN dan APBD untuk satgas pemenangan; diskriminasi hukum (buzzer pro bebas membully); tokoh oposisi, Ulama’ dipersekusi, dilaporkan ke polisi; media konvensional dikuasai. Pemilu dikuasai oleh oligarkhi politik, oligarkhi ekonomi (para bandar) dan oligarkhi sosial.

Bagaimana setelah dilantik? Perspektif Ilmu politik melihat bahwa legitimasi penguasa akan terus menerus diawasi detik demi detik, menit demi menit, hari demi hari selama berkuasa baik oleh parlemen maupun oleh rakyat. Perkembangan politik dengan RUU Omnibus, issue covid-19 dengan munculnya perpu dan UU yang intinya lebih dalam penggunaan anggaran ratusan Trilyun untuk non-kesehatan, adakah transparansi sementara paying hukumnya tidak bisa dipidana dan perdatakan, dilaporkan ke polisi maupun dikoruptorkan? Rapid test dan PCR yang untung siapa? Bandar atau siapa? Belum lagi kebijakan ekonomi politik yang perlu dipertanyakan tentang masuknya TKA secara “ugal2an”, hutang menumpuk, BUMN bangkrut, rekrutmen jabatan2 dengan KKN?

Yang kemudian paling mengerikan adalah secara diam-2 tanpa ada bahasan akademik yang luas dan mendalam disetujuinya RUU HIP oleh DPR untuk masuk dalam prolegnas. Inti dari RUU HIP tersebut adalah mengganti Pancasila menjadi trisila dan ekasila (gotong royong) tanpa memberikan konsideran tentang TAP MPRS no 25 tahun 1966 tentang komunisme. Bukan itu saja. Namun RUU HIP ini telah menyakiti ummat Islam (terutama) dan ummat beragama di Indonesia. Karena Ketuhanan disubordinasi dengan kebudayaan.