Modus Karangan Bunga di Balaikota

Eramuslim.com – Upaya pencitraan tampaknya masih tetap dilakukan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan para pendukungnya, meski sang petahana sudah tumbang di Pilkada DKI Jakarta. Beragam cara mereka gunakan, untuk mengesankan Ahok masih diinginkan masyarakat. Padahal dalam kontestasi demokrasi yang baru saja digelar, mayoritas warga Ibu Kota tidak lagi menginginkan pemimpin seperti dirinya.

Sepertinya ada misi terselubung yang tengah dimainkan Ahok dan para kroninya. Misi itu adalah mengupayakan agar mantan wakil Jokowi saat menjabat Gubernur DKI tersebut, bisa masuk ke dalam lingkaran kekuasaan di tingkat nasional. Sebenarnya ini sudah menjadi keharusan jika mereka tetap berkeinginan untuk menduetkan Jokowi-Ahok pada Pemilihan Presiden 2019 mendatang.

Setelah kalah di pilkada, peluang Ahok untuk tetap eksis di kancah politik kian menipis. Namanya akan tenggelam dan elektabilitasnya bakal anjlok sebelum pemilihan yang baru akan berlangsung dua tahun lagi. Satu-satunya cara agar eksistensi Ahok tetap terjaga adalah menempatkannya di kursi kabinet kerja. Karena itu, dijalankanlah strategi guna memuluskan langkah tersebut.

Tentu saja, pemerintah yang selama ini selalu mendukung dan membela Ahok, juga ikut memainkan peran dalam memainkan skenario ini. Hal itu terlihat sangat kentara. Tatkala Ahok sibuk dangan upaya pencitraannya, penguasa membukakan jalan baginya. Bak gayung bersambut, isu resuffle kabinet kian gencar dikumandangkan. Ini ibarat sebuah puzzle, jika kita menggabungkan potongan-potongan kejadian, maka skenario itu akan terdengar masuk akal.

Salah satu pencitraan Ahok yang aktual adalah serbuan ratusan karangan bunga ke Balaikota. Ucapannya senada, yakni menyampaikan rasa terima kasih kepada Ahok yang telah memimpin Jakarta. Rupanya, wartawan jeli juga menganalisa peristiwa ini. Dari sekian banyak karangan bunga, tidak ada satupun yang identitas pengirimnya jelas. Bahkan, mayoritas karangan bunga tersebut berasal dari toko yang sama. Wartawan juga telah menelusuri ke toko tersebut, dan pemiliknya mengakui menerima banyak pesanan.

Mungkinkah karangan bunga itu memang berasal dari khalayak ramai yang fanatik terhadap Ahok? Terlalu lugu jika berpikiran seperti itu. Pertama, kedatangannya di hari yang bersamaan, menunjukkan ini adalah settingan. Kedua, tidak ada nama pengirim yang asli dan dikirim melalui satu toko bunga, adalah bukti ratusan karangan bunga ini hanya rekayasa belaka.

Banyak pihak menduga, karangan bunga ini hanya framing untuk menegasikan Ahok pantas duduk di kursi menteri. Ia berprestasi, dicintai masyarakat, kinerjanya masih dibutuhkan negeri ini, itulah citra yang ingin dibangun. Memang segala cara dilakukan untuk tujuan besar; Ahok jadi pemimpin negeri.

Usaha pemerintah di bawah rezim Jokowi tak kalah mati-matian mewujudkan cita-cita ini. Selama pilkada, penguasa menyokong penuh. Seluruh alat negara digunakan demi meraih kemenangan. Para rival politik Ahok, seperti Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno, selalu difitnah dan dirundung masalah. Mereka dikriminalisasi, karena polisi giat mencari-cari kesalahan di masa silam.

Begitu pula saat Ahok terjerat kasus penistaan agama, polisi juga ogah-ogahan mengusutnya. Bahkan dalam sidang, jaksa yang seharusnya menuntut terdakwa, malah berperan layaknya pengacara yang gigih membela. Belum lagi Menteri Dalam Negeri yang selalu pasang badan agar Ahok tidak diberhentikan sementara dari jabatannya. Bisa dikatakan, negara selalu hadir untuk membela dan melindungi Ahok.

Pada sidang penistaan agama yang sudah memasuki babak akhir, Ahok diyakini akan bebas dari jeratan hukum. Tak mungkin hakim akan memenjarakan kroni Jokowi ini, toh jaksa hanya menuntutnya dengan hukuman percobaan, meski mereka mengakui si terdakwa terbukti bersalah.

Kelakuan semua institusi penegak hukum di negeri ini relatif sama. Baik polisi, jaksa, maupun KPK. Banyak kasus korupsi yang menyeret nama Ahok, seperti kasus pembelian lahan Rumah Sakit Sumber Waras, pengadaan Trans Jakarta, UPS, reklamasi Teluk Jakarta, hingga mega skandal korupsi e-KTP. Namun, ia tak pernah tersentuh. KPK kehilangan nyali kala berhadapan dengan rekan presiden ini.

Lagipula, tidak mungkin calon menteri dan kandidat pemimpin bangsa masa depan memiliki rekam jejak yang tercela, pernah dipenjara karena terbukti bersalah melakukan korupsi atau menistakan agama. Karena itu, segala cara upaya akan dilakukan penguasa, meski mengangkangi aturan hukum, demi melanggengkan dinasti kekuasaan mereka.

Penulis: Patrick Wilson (kk/pi)