Moral Politik dan Arah Perjuangan untuk Selamatkan Bangsa

Pada saat Adi Sasono menjadi menteri Koperasi di masa pemerintahan Habibie, saya meminta izin padanya untuk mendapatkan rumah di Kompleks Koperasi di sekitar Cibubur. Hal itu saya lakukan karena seorang staf ahli menteri mengatakan bahwa asal ada izin menteri maka saya akan mendapatkan satu rumah gratis. Dan tentu saya ingin memiliki rumah, karena saat itu masih ngontrak.

Adi Sasono bukannya menyetujui, malah dia membentak saya. Menurutnya pekerjaan politik saya adalah menggalang rakyat dan khususnya ke Aceh yang bergolak. Bukan mencari materi dalam perjuangan. Alhasil selama Adi Sasono menteri Koperasi, saya tidak membawa sama sekali penghasilan yang bisa ditabung dan rumah masih mengontrak.

Kekuasaan dalam moral politik adalah memperkaya rakyat miskin. Pada suatu hari Adi Sasono dan Muslimin Nasution, menteri Kehutanan Habibie, berunding dengan Raja Kebun Malaysia, Kuok. Kuok ingin memiliki 100.000 lahan untuk perkebunan. Adi menyetujui dengan syarat 70% untuk Koperasi dan 30% untuk Kuok. Kuok terkejut terheran-heran karena seharusnya pengusaha sebagai investor yang mendikte menteri dan porsinya 70% pengusaha, 30% mitra yang ditunjuk pemerintah. Namun, sebagai nasionalis Adi tetap bertahan koperasi rakyat memiliki 70%, karena tanah milik negara, uang atas beban pinjaman perusahaan, kontraktor dll dibayar perusahan. Akhirnya Kuok sepakat. (Sayang pemerintah Habibie terlalu cepat terguling).

Pada saat berkuasa, penguasa tidak boleh membawa pulang uang abu abu kerumah (abu abu atau tidak jelas asal usulnya). Hal ini diperlihatkan Hariman Siregar ketika menjadi kepercayaan Habibie lainnya saat itu. Semua orang boleh makan sepuasnya di Hotel Mandarin atau lainnya di mana Hariman menjamu orang politik. Namun, apa yang dapat dinikmati para aktivis miskin di hotel saat itu hanya di ruangan hotel itu saja. Hariman melarang aktivis memperkaya diri karena kekuasaan atau aktifis tidak boleh jadi broker “power” untuk kepentingan sendiri atau keluarga.

Kembali pada soal Moral Politik yang diangkat Rizal Ramli melalui media konfrontasi online, apa yang terjadi dalam kisah di atas dan tentunya kisah yang bisa digambarkan Rizal Ramli dalam posisi dia berkuasa tentu menjadi pengalaman segelintir orang suci politik. Politik di masa lalu adalah politik cita cita. Mohammad Hatta sampai meninggal dunia tidak mampu membeli sebuah sepatu yang dia inginkan. Soekarno tidak meninggalkan warisan. Adi Sasono sampai wafat adiknya tetap miskin di Pekalongan. Hariman Siregar hidupnya terus dalam standar kesederhanaan.

Namun, politik pasca orde baru bukanlah hitam putih lagi. Orang baik dengan cita-cita telah terdampar lebih buruk dibanding masa Suharto berkuasa. Saat ini politik dan cita-cita bangsa dikendalikan segelintir oligarki dan para taipan. Itu yang disebut Jeffrey Sach sebagai Korporatokrasi, lebih atau sama buruknya dari plutokrasi. Kenapa? Karena partai politik dan kekuasaan politik berkembang dengan reproduksi tokoh pencitraan dan dinasti. Demokrasi yang menaungi sistem politik yang ada sekarang. Selama 22 tahun reformasi, koruptor bukan hanya bisa menguasai partai dan menjadi referensi “kesucian”, aparatur negara pun tidak berdaya berhadapan dengan mereka.

Bagaimana kedepan?

Menyaring pasir dengan ayakan halus akan membuat sedikit yang lolos saringan, sebaliknya menyaring dengan ayakan kasar, pasir kasar pun tidak tersaring. Habibie pernah mengingatkan tentang tetesan air yang jatuh tetes demi tetes ke batu karang akan menghancurkan batu karang itu perlahan.