Musim Paceklik Komunikasi Kekuasaan

Selanjutnya tentang usulan belanja sistem pertahanan ber-budget jumbo, fantastis Rp 1.760 triliun. Alokasi anggaran yang bengkak di situasi tidak tepat, masih dalam himpitan pandemi.

Lalu kisah tentang rencana pajak bagi bahan pokok dan pendidikan, lagi-lagi memunculkan riak penolakan. Kebijakan yang seolah dirumuskan untuk menjadi alat uji respons publik.

Pada level komunikasi kebijakan, dua hal terukur yang harus bisa dijadikan dasar pertimbangan adalah, (i) memastikan aspirasi publik dalam memformulasikan bentuk kebijakan, serta (ii) mengukur dampak pengaruh atas putusan kebijakan yang diambil.

Kedua hal tersebut berjalan seiring, dengan sifat yang dialogis. Kemampuan menjaring apa yang menjadi kepentingan publik, pada akhirnya akan membentuk sikap kepercayaan publik atas kebijakan yang dibuat.

Sikap abai, bahkan menutup mata serta telinga kekuasaan dari apa yang menjadi pembicaraan publik semakin mempertebal ruang ketidakpercayaan.

Refleksi persetujuan atas kebijakan publik tercermin melalui ruang percakapan. Opini publik yang merupakan kesadaran publik, jelas berbeda dari bangunan wacana buzzer dan influencer.

Di tengah kondisi terjepit pandemi, sudah seharusnya dua dimensi utama dari aktor komunikasi kekuasaan ditunjukkan, melalui: (i) rasionalitas sebagai dasar alasan menjelaskan suatu kebijakan yang dapat diterima melalui akal secara objektif, (ii) kejujuran dalam menyampaikan suatu maksud secara terbuka dan dapat dinilai oleh publik itu sendiri.

Kepercayaan itu bak mata air, bilamana mengering, maka selayaknya kita bersiap menghadapi musim paceklik yang menguras air mata.[]

OLEH: YUDHI HERTANTO