Nashihin Masha: Jenderal Gatot Itu Dicopot!

Tuduhan terhadap Gatot makin kuat ketika aksi 212, dia satu-satunya yang mengenakan peci putih. Padahal semua rombongan Presiden yang hadir di 212 mengenakan peci hitam. Saat reuni 212 yang lalu, TNI juga ikut berkontribusi menyediakan konsumsi. Tentu tak hanya itu. Sejumlah pernyataan Gatot juga dinilai memberi angin dan menguntungkan kelompok 212. Gatot dinilai sedang bermain politik.

Tuduhan itu tentu sulit dibuktikan. Dan tuduhan itu pun tak pernah dilontarkan secara terbuka. Semua hanya bisik-bisik di belakang layar, atau melalui black campaign di media sosial. Namun jika ada yang bertanya, Gatot akan menjawab lugas.

Loyalitas prajurit adalah loyalitas tegak lurus – sebuah istilah yang dipopulerkan oleh Jenderal R Hartono ketika menjadi KSAD. Istilah itu bermakna bahwa loyalitas prajurit itu lurus ke panglima tertinggi, yaitu presiden. Saat Rakernas Nasdem pada 16 November 2017 lalu, ia juga menyampaikan pentingnya Jokowi untuk terpilih lagi pada pilpres 2019.

Sebetulnya jika ditilik secara positif pernyataan-pernyataan Gatot terhadap kelompok 212 memperlihatkan naluri murni seorang prajurit. Sebagai penjaga ketahanan nasional, ia memahami pentingnya kanalisasi sebuah aspirasi. Dalam politik yang hitam-putih – antara menjadi kawan atau menjadi lawan – ada suasana panas. Keterbelahan itu demikian terasa. Bahkan penggunaan alat kekuasaan untuk menindas lawan demikian terasa: tangkap, tahan, adili, penjara. Perbedaan pendapat dan sikap politik bisa berubah menjadi musibah.

Hal itu bisa menimbulkan rasa frustrasi. Di situlah pentingnya kanalisasi. Ini agar musibah tak berubah lagi menjadi bencana hankam. Pada titik ini, tentara tak ingin dipaksa masuk oleh keadaan yang chaotic. Tentara trauma dengan kondisi semacam itu.

Kanalisasi itu – melalui pernyataan-pernyataannya atau tindakan-tindakannya tersebut seolah memberi angin – ibarat memasang tanggul pemecah gelombang agar tidak terjadi abrasi di pantai. Harus diakui, peran Gatot dalam membuat pemecah gelombang dalam arus pertarungan yang panas lumayan efektif.

Namun kekhawatiran bahwa Gatot bermain politik pun wajar. Apalagi sejak awal dia menggulirkan isu proxy war, jauh sebelum kasus Ahok hadir. Isu ini sangat tidak menguntungkan penguasa saat ini. Karena isu proxy war selalu membangunkan kewaspadaan nasional terhadap fenomena global. Isu ini hanya memberi keuntungan terhadap oposisi yang mengkritisi kedekatan yang intim antara penguasa saat ini dengan RRT.

Pada sisi lain, walau tak terucapkan secara terbuka, ada elemen-elemen politik yang selalu skeptis terhadap loyalitas perwira Angkatan Darat. Ada ketidakpercayaan terhadap ketulusan politik perwira Angkatan Darat. Kombinasi isu proxy war dengan sikap dan pernyataannya dalam pertarungan politik internal serta pengalaman traumatik masa lalu telah membuat Gatot menjadi figur alternatif.

Upaya Gatot untuk terus membantah bahwa dirinya tidak sedang menyiapkan diri untuk pilpres 2019 pun sia-sia. Gatot menjadi figur kuat pendamping Jokowi pada pilpres 2019. Namun Gatot juga bisa menjadi figur alternatif penantang Jokowi. Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Gatot Nurmantyo adalah tiga figur yang berpeluang untuk menjadi penantang Jokowi pada pilpres 2019.

Kini Gatot sudah bukan menjadi panglima TNI lagi. Namun karena ia masih perwira aktif maka dirinya tetap tidak bisa berpolitik praktis. Itu memang sebentar. April 2018 ia telah menjadi manusia bebas. Pertanyaannya adalah apakah ia akan mengkapitalisasi modal sosial yang telah ia miliki selama ini atau justru ia akan tenggelam ditelan arus.

Sejarah sedang menunggu sosok Gatot yang sesungguhnya. Apakah dia the man atau bukan. “Kalian harus punya sikap…jangan pernah terbeli oleh kepentingan apapun,” itulah pesan Gatot saat pidato perpisahan di Kopassus.[]

Penulis: Nashihin Masha

(kl/rol)