Nasib Indonesia Kini: Negara Tanpa Dinding, Surganya Oligarki dan Kartel

Bahkan, yang sangat membahayakan ketika negara kita saat ini bagaikan bangunan tanpa dinding. Negara kita menjadi negara yang sangat terbuka dan dibuka untuk dapat dilihat, dimasuki dan dijarah oleh berbagai kepentingan bangsa lain dari seluruh sisinya. “Negara tetangga kita bahkan dapat menyaksikan secara ‘live’ saat kita buang air di toilet”.

Dengan design sistem negara era reformasi yang sengaja dibuat lemah, tidak berkapasitas dan tidak beraturan, yang diperparah lagi oleh hantaman gelombang revolusi digital. Maka, rakyat yang lemah secara politik pasti tidak berdaya menghadapi tekanan dari kuasa kegelapan yang datang dari empat penjuru sekaligus.

Pertama, tekanan yang datang menumpangi arus pasar bebas, yaitu kekuatan Multi National Corporation (MNC) yang datang dari barat, serta kekuatan State Corporation yang datang dari China, hadir sebagai penguasa yang memangsa industri nasional dan usaha kecil.

Kini pasar bebas yang bersifat manual dan deregulatif telah bertransformasi ke dalam bentuk digital yang merobohkan tembok dan konstitusi negara. Memasuki tahun 2018 nanti, predator keuangan global akan hadir dalam bentuk digitalisasi finance (Fintek) yang lebih efisien dalam penghisapannya.

Kedua, tekanan dari penjuru kartel ekonomi yang merampas hajat hidup orang banyak, seperti praktek kartel listrik di PLN yang jadi penyebab naiknya TDL, serta praktek kartel vendor yang memangsa BUMN. Demikian juga keserakahan kartel properti dan infrastruktur dalam mega projek Meikarta dan reklamasi yang mengkudeta UU dan kewenangan pemerintah.

Ketiga, tekanan dari penjuru oligarki politik bermental maling yang membajak institusi negara dan partai politik. Sebagai contoh adalah mega-korupsi E-KTP yang melibatkan pimpinan sejumlah institusi negara dan politisi sejumlah Parpol.

Keempat, tekanan yang datang dari mafia hukum yang mengendalikan institusi dan aparatur penegak hukum, serta menjualbelikan perkara dan keadilan.

*Trauma Negara Kuat*

Masalahnya kita masih terkesan trauma jika sistem negaranya kuat. DR. Daniel Dakidae misalnya terkesan trauma bila arus sejarah kembali ke negara kuat. Bagi Daniel, masyarakat sipil (civil society) harus lebih digdaya dari Negara.