Nir-Etika: Antara Janji Jokowi dengan Keluhan Sri Mulyani

Berbeda dengan Bill Clinton, Jokowi tidak hanya berjanji, tetapi juga tidak menepati janji itu. Kasarnya ini pembohongan publik. Janji yang diucapkan Jokowi adalah menyangkut kehidupan berbangsa dan bernegara, sementara janji itu tidak ia tepati dan hasilnya membuat kehidupan berbangsa dan bernegara bermasalah.

Dalam Hukum positif Indonesia, ada ketentuan dalam Pasal 378 KUHP yang menyatakan “Barang siapa dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat, maupun dengan karangan-karangan perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, dihukum karena penipuan, dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Dari ketentuan pasal tersebut di atas, kemudian dikaitkan dengan janji-Janji Jokowi selama menjadi presiden sebagaimana yang diurai di atas tentu patut diduga memenuhi kualifikasi unsur-unsur pasal tersebut. Apalagi kalau kita mengutip kata-kata Sri Mulyani yang menanyakan kesiapan Jokowi akan janji kampanye nya. Dan jawaban Jokowi yang secara enteng mengatakan “kampanye dulu, nanti dipikirkan”.

Yang lebih celaka lagi, bahwa janji itu adalah janji yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak, yang mengikat secara moral dan etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Maka dalam Pasal Impeachment hal tersebut termasuk dalam pelanggaran Berat.

Pasal 7A UUD 1945 mengatur sebagai berikut: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.”

Perbuatan tercela adalah menyangkut hal yang bersifat norma, moral dan etika fungsional terbuka. Perkembangan terbaru teori etik telah masuk pada etik fungsional terbuka, di mana pejabat publik harus mempertanggungjawabkan secara etik sebagai yang dijelaskan oleh TAP MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang etika kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam point bab II angka 2 jelas mensyaratkan “pemerintahan yang terbuka, bertanggungjawab, jujur, melayani dan lain-lain. Siap mundur apabila dirinya telah melanggar kaidah atau sistem nilai ataupun dianggap tidak mampu memenuhi amanah masyarakat, bangsa dan negara”

Dari rumusan TAP MPR tersebut jelas bahwa tidak jujur, melanggar sistem nilai dan tidak mampu memenuhi amanah adalah merupakan perbuatan yang melanggar norma, kaidah dan nilai yang hidup dalam masyarakat. Karena sifat dan karakter seperti itu tidak mencirikan sifat dan karakter Pancasilais yang menjadi fundamen utama berbangsa dan bernegara.

Oleh karena itu melihat antara janji dan realitas yang sesungguhnya sangat tidak sinkron. Banyak yang dijanjikan oleh Jokowi sebagaimana yang dikemukakan dituliskan ini yang tidak ada dalam realitas. Sehingga menjadi janji palsu yang jelas melanggar ketentuan norma dan kaidah berbangsa dan bernegara.

Wallahualam bis shawab (end)

Penulis: Dr. Ahmad Yani, SH. MH