Operasi Akuisisi Politik Jokowi, Ancaman Besar bagi Demokrasi?

Di kubu KMP bergabung sejumlah partai. Selain Gerindra, ada Golkar, PPP, PAN, dan PKS. Sementara Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang mengusung Jokowi-Jusuf Kalla didukung oleh PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI.

Dengan komposisi semacam itu pendukung pemerintah menjadi minoritas di parlemen. Mereka hanya menguasai 37.14 persen kursi di DPR. Sisanya 62, 86 persen dikuasai lawan.

Dengan mengubah UU Kedudukan MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3) KMP menyapu bersih kursi pimpinan MPR dan DPR. PDIP dan PKB seharusnya berhak menduduki kursi ketua dan wakil ketua, gigit jari.

Dengan kekuasaan eksekutif di tangan dan dengan sumber daya pemerintah yang melimpah, kubu KIH segera melakukan manuver. Strategi utamanya adalah pecah belah. Iming-imingnya pembagian kursi di kabinet.

Jurus ini sangat ampuh dan langsung terbukti hasilnya. Hanya dalam waktu relatif tak terlalu lama, PPP dan Golkar mengalami konflik internal. Terjadi dualisme kepemimpinan.

Sebelum Jokowi-JK dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014, Romarhurmuziy berhasil mengambil alih PPP langsung menyatakan bergabung.

Setahun kemudian pada bulan September 2015 PAN bergabung, dan terakhir Golkar pada 17 Mei 2016 menyatakan keluar dari KMP, bergabung dengan KIH.

Dengan bergabungnya ketiga partai tersebut, komposisi di DPR menjadi terbalik. KIH menguasai mayoritas di parlemen dan KMP menjadi minoritas. Tinggal tersisa Gerindra dan PKS yang bertahan. Demokrat tetap dalam posisi semula berada di luar dua koalisi itu.

Biaya akuisisi politik yang dikeluarkan Jokowi cukup murah. PPP mendapat kompensasi Menteri Agama. PAN mendapat kursi Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, sebuah kementerian dengan anggaran terkecil.

Golkar mendapat dua pos menteri baru, yakni Menteri Sosial dan Menteri Perindustrian. Sebelumnya Golkar telah menempatkan kadernya Nusron Wahid sebagai Kepala BNP2TKI.