Pajak dan Negara Vampire

 Sahabat saya punya teman. Orang pajak. Sahabat saya yang baru tiga bulan kembali dari Australia itu berniat beli rumah cukup besar di kompleks perumahan mewah di pinggiran Jakarta. Cash, tidak kredit. Orang pajak itu memberi advis. Katanya, pakai kredit saja, pajaknya lebih kecil, kalau cash pajaknya jauh lebih besar.

Logika yang dipakai, kata orang pajak tadi, kalau beli kredit maka negara menganggap kita tidak mampu, tapi kalau beli cash maka negara menganggap kita orang mampu dan besaran pajaknya pun jauh lebih besar.

Sahabat saya protes. Lha, waktu usahanya bangkrut waktu krisis 1998, negara tidak mau membantunya. Sejumlah proposal permintaan kredit yang diajukannya untuk modal usaha ke berbagai bank pemerintah ditolak. Anaknya yang terancam putus sekolah pun tidak mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Akhirnya dia pinjam uang dari sana-sini dan hijrah ke Australia untuk memulai usaha di sana. Meninggalkan anak isterinya selama bertahun-tahun, sebelum akhirnya dia “bisa bernafas kembali”. Ketika usahanya sudah stabil di negeri orang, barulah dia kembali ke Jakarta.

“Negara ini tidak pernah membantu saya. Negara ini tidak pernah membuat saya pintar. Untuk menyekolahkan anak agar pintar, saya harus merogoh kocek dalam-dalam. Jika sakit, saya juga harus membayar dokter dan membeli obat dengan harga premium. Namun ketika usaha saya berhasil, atas kerja keras sendiri, tentunya dengan izin Allah, negara ini dengan seenaknya mau minta uang pada saya dalam bentuk pajak. Apa bedanya negara ini dengan tukang palak? Indonesia sekarang ini sudah jadi Vampire State, yang hidup dengan menghisap darah rakyatnya sendiri!”

Orang pajak tadi terdiam. Mungkin dalam hatinya dia mengamini pernyataan temannya itu. Sebagai “orang dalam”, walau statusnya hanya pegawai rendahan, dia tahu betul kekotoran apa yang terjadi di dalam institusi tempatnya bekerja. Dia yakin, apa yang terjadi di institusinya hanyalah sebuah miniatur dari kenyataan yang jauh lebih parah dan massif yang terjadi di semua strata birokrat negeri ini, dari tingkat Kepala RT, RW, Lurah, Camat, Walikota, sampai anggota DPR dan Presiden.

Sahabat saya yang lain, baru saja membeli sebidang tanah di Bekasi, tidak begitu besar. Dia bercerita bahwa untuk membeli tanah saja dia harus nyetor uang ke sana-sini, dari Pak RT sampai pejabat di atasnya. Belum lagi untuk mengurus aktenya. Dan ketika di atas tanah tersebut dia ingin membangun rumah kontrakkan atas namanya sendiri, dia kembali harus menyetor sejumlah dana ke pihak yang sama.

“Pak RT saja sampai minta satu juta rupiah,” keluhnya. “Padahal itu tanah milik saya, saya juga membangun dengan uang saya sendiri, kenapa mereka minta bagian?” keluhnya. Dia juga mempertanyakan dasar diadakannya IMB (Izin Mendirikan Bangunan). Dia bilang buat apa minta izin, harus membayar uang pula, padahal dia membangun di tanahnya sendiri, bukan di tanah orang lain apalagi tanah pemerintah.

Kedua sahabat saya itu bukan orang bodoh, walau belum bergelar profesor, karena semua gelar di negeri ini bisa dibeli dengan harga yang tidak terlalu mahal. Mereka gila baca buku, berpikiran kritis, dan pekeja keras. Mereka tahu benar hakikat dan filosofi pajak. Mereka tahu kalau IMB itu sebenarnya hanya salah satu trik dari pemerintah daerah untuk memenuhi pundi kas daerahnya.

Welfare State Versus Negara Vampir

Konstitusi negara mengamanahkan negara agar mengayomi, melindungi, dan memenuhi hak-hak rakyatnya. Bagi anak-anak tidak mampu, negara wajib memeliharanya. Bagi orang miskin, negara wajib menyantuninya. Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja bagi rakyatnya, wajib menggunakan seluruh kekayaan alam negeri yang ada semata-mata untuk mensejahterakan rakyatnya, wajib memberikan rasa aman, wajib melindungi rakyatnya dari apa pun juga. Ini semua termaktub dengan jelas di dalam konstitusi negara.

Di dalam konstitusinya, Indonesia menginginkan menjadi sebuah negara berkesejahteraan (Welfare State). Untuk bekerja demi memenuhi semua hak-hak dasar rakyat inilah, negara memerlukan biaya. Salah satunya dari pajak yang merupakan suatu elemen terpenting untuk kepentingan penyejahteraan rakyat. Dengan membayar pajak, rakyat akan mendapatkan fasilitas publik yang memadai seperti pendidikan gratis, kesehatan gratis, pangan dan sandang yang murah, serta tunjangan sosial bagi mereka yang tidak mampu.

Dengan pajak, orang Jerman bisa memperoleh pendidikan gratis, orang Inggris bisa menikmati biaya rumah sakit dan pengobatan gratis, lalu di beberapa negara federal Amerika orang bisa bertelepon-ria tanpa dipungut biaya, dan di banyak negara Eropa ada tunjangan sosial bagi orang jompo, orang cacat, dan pengangguran.

Di Indonesia, semuanya harus bayar. Bahkan untuk pipis saja pun dikenakan biaya. Hanya tertawa dan—maaf—kentut yang belum dikenai pajak di negara ini.

Mungkin saja ada yang mengemukakan dalih jika pajak kita masih terlalu kecil dibandingkan dengan pajak di negara-negara yang telah sejahtera. Namun, bila dilihat realita yang ada, alasan itu tidaklah benar. PPN di negara Eropa, misalnya, sesuai dengan proposal European Union, dipatok hanya 14-20%. Di Inggris hanya 17,5%, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia.

Namun dengan pajak sebesar itu, mereka bisa memberikan fasilitas publik yang sangat memuaskan. Negara-negara tersebut, yang kekayaan alamnya tidak sedahsyat Indonesia, mampu memberikan layanan publik sangat baik dengan hanya menarik pajak yang tidak terlalu banyak selisihnya dengan yang ditarik oleh pemerintah Indonesia.

Di Indonesia, semua orang dikenakan pajak. Kian hari pajak kian tinggi. Sama seperti retribusi jalan tol yang kian hari kian besar, padahal kenyataannya, jalan tol kian hari kian macet, dan pemeliharaannya pun kian memprihatinkan. Di Indonesia, hanya pejabatnya yang hidup kian sejahtera, mendapat fasilitas mewah, gaji dan tunjangan besar, anggota DPR-nya pelesiran ke luar negeri bersama anak isteri, semuanya dibiayai dari uang pajak (baca: merampok rakyat). Namun fasilitas umum dan tunjangan sosial bagi rakyat nihil. BAhkan banyak dari sektor yang sebenarnya hak milik rakyat malah diswastanisasikan.

Salman Luthan dan Agus Triyanta, dosen Fakultas Hukum dan Magister Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Jogjakarta, dalam Jawa Pos (11/10/2005) menulis dengan cukup tajam masalah pajak di negeri ini, “Apa bedanya antara perampok dan negara? Keduanya sama-sama mengisap uang rakyat. Keduanya sama-sama bisa memaksa rakyat. Jika perampok adalah orang atau sekelompok orang yang mengambil kekayaan orang lain untuk diri mereka, negara terdiri atas kelompok orang yang mengambil pajak dari rakyat untuk kepentingan rakyat itu sendiri, atau minimal untuk kepentingan bersama. Logikanya, jika rakyat diisap kekayaannya lewat berbagai pajak dan pungutan, terpaksa atau tidak terpaksa, dan kemudian uang tersebut oleh negara tidak dikembalikan kembali kepada rakyat, niscaya negara itu juga sama saja dengan perampok, yaitu perampok yang terorganisasi.”

Di negara vampir seperti Indonesia sekarang ini, pajak hanya digunakan untuk memperkaya sebagian golongan yang berkuasa. Padahal mereka juga memperkosa kekayaan sumber daya alamnya. Indonesia yang sekarang dikuasai oleh orang-orang rakus dan serakah bermental korup ini memang harus didekontsruksi ulang. Rakyat harus bangkit dan bergerak melindas mereka semua.

Mungkin sebab itu, Islam mengharamkan pajak. Hal ini pernah ditegaskan Dr. Daud Rasyid dalam suatu kajian keislaman di Jakarta beberapa tahun lalu. Islam membangun negerinya bukan dengan pajak, tetapi dengan kekayaan alam yang dimiliki dan dengan usaha yang penuh keberkahan. Wallahu’alam bishawab. [rz]