Hersubeno Arief: Pak Wiranto, Apa Tidak Ingin Husnul Khotimah?

Hanya di negara totaliter —fasis dan komunis— dua kebebasan itu dilarang. Mereka mengontrol dengan ketat dan menjadikan media sebagai alat propaganda. Para pengecam penguasa dibungkam, ditindas. Kalau perlu dilenyapkan, dibuang ke kamp pengasingan dan kerja paksa.

Pemerintah yang sepenuhnya mengontrol rakyatnya secara dramatis digambarkan oleh George Orwell dalam novelnya yang sangat laris “1984”.  Sebuah pemerintahan yang secara brutal mengontrol masyarakat  sejak dalam pikirannya. Inilah sebuah massa yang banyak disebut sebagai orde Orwellian, terinspirasi dari rezim komunis Soviet dan perang di Inggris Raya.

Di Amerika Serikat (AS) tak lama setelah Donald Trump terpilih menjadi presiden (2016),  di berbagai kota berlangsung demonstrasi  serentak. Mereka membawa poster bergambar Trump dengan tulisan Not My Presiden!

Di sejumlah plaza dan tempat-tempat terbuka, boneka Trump dalam ukuran besar dipajang dan dijadikan alat warga melampiaskan kemarahannya.

Ada yang memukulinya dan bergaya bak petinju. Ada juga yang bergaya jago kungfu melakukan tendangan salto. Boneka Trump benar-benar jadi alat warga menghinakannya.

Apakah Trump marah? Benar Trump marah. Dia juga menuduh media massa memprovokasi warga. Tapi hanya sampai disitu. Dia tidak melanjutkan dengan ancaman memberangus media, apalagi menangkap para pengecamnya.

Begitulah negara demokrasi. Orang bebas berekspresi, selama tidak melanggar hukum. Presiden bukanlah orang suci yang tidak boleh disentuh. Dia hanya pelayan rakyat. Menjadi penguasa karena mendapat mandat rakyat.

Sangat Mengherankan

Melihat perjalanan hidupnya, pilihan sikap politik Wiranto ini sesungguhnya sangat mengherankan.