Pelajaran Dari Aksi 21-22 Mei Berdarah

Ketiga, sekaligus yang terakhir adalah munculnya secara sayup-sayup perlawanan terhadap dominasi Tiongkok di aksi “21-22 Mei Berdarah”:

1. Serbuan polisi Tiongkok. Yang ini sempat menjadi berita hoax tentang adanya Brimob warga Tiongkok yang ikut menyerbu peserta aksi.

2. Serbuan tenaga kerja Tiongkok. Yang jumlahnya juga sempat menjadi berita hoax saat disebut terdapat puluhan juta orang di Indonesa.

3. Serbuan narkoba dari Tiongkok. Ini merupakan fakta yang sudah diakui dunia.

4. Jeratan utang berkedok investasi Tiongkok. Ini juga fakta karena kasusnya sudah banyak terjadi di negara Afrika dan Asia.

5. Penyebaran ideologi Komunis Tiongkok. Mungkin sebenarnya yang paling ditakutkan oleh peserta aksi adalah penyebaran atheisme -yang sering dicampur aduk dengan komunisme-.  Faktanya ajaran ekonomi politik komunisme di Tiongkok sudah ditinggalkan sejak tahun 1978- meskipun Partai Komunis tetap dipertahankan demi kestabilan politik nasional. Ekonomi Tiongkok saat ini murni kapitalisme negara yang kesuksesannya (memacu pertumbuhan ekonomi tinggi di atas 10%) di tahun 1980-2000-an.

6. Solidaritas terhadap penderitaan Bangsa Uighur sebagai sesama Muslim. Pemerintah Widodo seperti menutup mata terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan Tiongkok terhadap Bangsa Uighur, mengabaikan fakta-fakta yang ditemukan pengawas internasional.

Namun uniknya, tidak ada kekhawatiran diserbunya Indonesia oleh barang impor dari Tiongkok. Padahal ini yang paling berbahaya karena sifatnya menghancurkan industri nasional kita (yang disadari Presiden Trump di AS sehingga memulai perang dagang dengan Tiongkok sejak 2 tahun lalu). Hancurnya industri nasional yang juga dikenal sebagai deindustrialisasi akan menyebabkan semakin meningkatnya angka pengangguran sehingga menambah besar lapisan kelas kaum miskin kota dan desa.

Hal ini terutama untuk industri nasional yang menghasilkan produk-produk seperti baja dan turunannya, tekstil, mainan anak, alas kaki, dan batik- terpaksa harus terseok-seok dan bangkrut (sebagian terpaksa merelokasi pabriknya ke Vietnam).

Apakah mungkin karena banyak juga produk impor dari Tiongkok yang sangat membantu memudahkan kehidupan kita? Seperti telepon seluler, alat elektronik, alat kecantikan, baju bermerk, sepatu, peralatan plastik, perkakas dapur, bawang putih, dan lain-lain. Harus diakui harga produk Tiongkok selalu lebih murah dari produk impor negara lain.

Perlu diketahui, derasnya impor produk Tiongkok ke Indonesia adalah buah dari perjanjian ACFTA (ASEAN-China Free Trade Area) yang dirintis sejak masa pemerintahan Megawati dan ditandatangani  pemerintahan SBY dan diteruskan Widodo kini. Perjanjian ACFTA ini adalah liberalisasi perdagangan (elemen dari neoliberalisme) yang tidak pernah menguntungkan bagi Indonesia.

Sejak dimulai hingga kini, perjanjian ACFTA selalu menghasilkan defisit perdagangan Indonesia terhadap Tiongkok yang jumlahnya terus membesar dari tahun ke tahun. Tentu ini berkontribusi juga bagi tercapainya rekor defisit neraca perdagangan Indonesia terburuk sepanjang sejarah pada April.

Pakar ekonomi di tim Prabowo sendiri sering menyampaikan bahwa bila Prabowo menjadi presiden maka seluruh kontrak kerja sama bisnis (termasuk batas TKA Tiongkok yang diperbolehkan masuk dan nilai proyek) dan perjanjian perdagangan (ACFTA) dengan Tiongkok akan dievaluasi agar tidak merugikan Indonesia.

Tidak mungkin Widodo bersedia ikuti langkah tersebut, evaluasi kerja sama dengan Tiongkok. Belum lagi diumumkan sebagai pemenang pemilu oleh KPU minggu kemarin, proyek OBOR di Indonesia sudah diteken.

Kesimpulan

Perjuangan aksi “21-22 Mei Berdarah” tentang kecurangan pemilu sebenarnya memiliki dimensi perlawanan kelas sosial yang paling tertindas (kaum miskin kota) terhadap sistem ekonomi yang tidak adil (neoliberal) dan juga perlawananan rakyat terhadap dominasi Tiongkok di Indonesia. Menang kalahnya perjuangan Gerakan Nasional Kedaulatan Rakyat akan menentukan kelanjutan sistem ekonomi yang tidak adil (neoliberalisme) dan dominasi Tiongkok di negeri ini.

*) Penulis: Yos Ngarang, Sekretaris Jenderal Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)

(sumber)