Pemimpin Kita Versus Presiden Uganda Dan Presiden Ghana

Dari pesan Presiden Uganda kita segera menangkap betapa seriusnya pandemi Covid-19 ini di mata beliau. Dari data Covid-19 per 17 September 2020, negeri di Afrika Timur yang berpenduduk sekitar 100 ribu lebih banyak dari Provinsi DKI ini mencatatkan total 9.468 kasus dengan 63 meninggal di dunia.

Sekadar perbandingan, pada saat yang bersamaan DKI mencatatkan 58.582 kasus dengan kematian 122 orang (hampir dua kali lipat dari Uganda).

Penulis merasa perlu kembali mengangkat enam poin penting dari pesan Presiden Uganda itu untuk menggugah dan menggugat kembali kengototan kita melaksanakan Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang.

Pertama, meski ini tidak termasuk poin penting, kita tidak menemukan kata “masker” dalam pidato Presiden Uganda itu, yang ada “menjaga jarak” dan “mencuci tangan.”

Kedua, meski Museveni pernah mendapatkan latihan gerilya dan bergabung dengan dinas intelijen, beliau hanya rajin menggunakan kata “perang,” namun dalam menangani Covid-19 beliau tidak bermaksud menggunakan mesin perang dan tidak merasa perlu melibatkan tentara dan intelijen.

Ketiga, Penulis tidak merasa perlu mengutip kata “idiot” yang ditujukan beliau kepada rakyatnya. Namun permintaan Museveni kepada rakyatnya untuk tetap sabar “di rumah aja” sampai pandemi Covid-19 berakhir tidak hanya perlu kita petik, tetapi juga kita mesti garisbawahi di sini karena senada dengan pesan-pesan yang kita gaungkan di awal pendemi.

Tidak hanya itu, Museveni juga meminta rakyatnya untuk sabar menahan kelaparan dan berdoa agar tetap hidup untuk bisa makan lagi. Dari kata-kata itu, Penulis bisa memastikan, seandainya ada pilkada di sana, beliau tetap konsisten dengan kata-kata di atas.

Keempat, perkenankan Penulis mengutip kata-kata utuh berikut, “Selama perang, anda tidak berdebat tentang membuka bisnis anda. Anda bahkan menutup toko anda (jika anda punya waktu), dan berlari untuk menyelamatkan hidup anda.”

Penulis merasa tidak perlu menginterpretasikan pernyataan ini, namun hanya merasa harus melengkapinya dengan sebuah pernyataan Presiden Ghana hampir enam bulan yang lalu (29 Maret 2020) yang hingga kini kerap dikutip orang, “Kita tidak tahu bagaimana menghidupkan kembali orang, namun, kita bisa melindungi kehidupan masyarakat, kemudian mata pencaharian mereka.”

Kelima, Museveni mengibaratkan Covid-19 sebagai tentara musuh kita yang merupakan pasukan yang tak terlihat, cepat, dan efektif tanpa ampun.

Masalahnya, karena tidak terlihat dengan mata telanjang (hanya bisa dilihat dengan mikroskop elektron), ini membuat kita berani berspekulasi kasus Covid-19 tidak akan merebak tajam meski di saat pendaftaran pun kita sudah menyaksikan di berbagai tempat massa berkerumun, tanpa tindakan yang memadai dari aparat untuk segera mengakhirinya.

Bahkan aparat kita pun membisu dan tanpa malu melakukan pembiaran atas sejumlah demonstrasi di berbagai tempat yang menolak keabsahan calon tertentu.

Sekarang saja Pemerintah, DPR, dan KPU sudah berada dalam posisi “business as usual” seperti rakyatnya, apalagi hingga dua setengah bulan mendatang.

Dari ketiga lembaga ini kita sudah terbiasa mendengar, “Tanpa pilkada pun masyarakat sudah melakukan kegiatan keseharian mereka.” Tanpa mereka sadari, kata-kata ini bisa menjadi sinyal bagi masyarakat, “silakan melakukan ‘business as usual.’