Perang di Gaza: Menghancurkan Legitimasi Israel

Richard Falks, seorang kritikus Israel dan Reporter Khusus PBB, mengatakan bahwa Israel sudah kalah dalam perang, dan hancurnya  legitimasi. Apa maksudnya?

Jawabannya ada dalam demonstrasi yang terserak di seluruh dunia. Bagi semua orang, agresi berdarah Israel atas Jalur Gaza telah menghancurkan semua kehormatan bangsa Yahudi dan nama baiknya (jika masih ada). Sebagian besar aksi demonstrasi selalu membawa banner besar yang berisi kata-kata yang membandingkan Israel dengan Nazi Jerman. Pembantaian warga Gaza hanya menambahkan  wajah kejahatan bagi Israel yang telah menorehkan sejarah kematian di Deir Yassin, Lebanon, dan wilayah Arab lainnya.

Ari Avnery, seorang Israel yang terus-menerus mengkritik pemerintahannya, pekan ini ia menulis, "Apa yang akan diingat oleh dunia akan peristiwa ini adalah wajah monster Israel yang haus darah. Ini niscaya akan memberikan konsekuensi jangka panjang bagi orang-orang Yahudi. Pada akhirnya, agresi ini adalah kejahatan kepada kita sendiri, kejahatan terhadap negara Israel!"

Seorang Israeli  lainnya, Avi Shalim, Profesor Hubungan Internasional di Universitas Oxford mengatakan bahwa ia percaya Israel telah menjelma menjadi negara biadab. "Sebuah negara biadab selalu melawan hukum internasional, menguasai senjata penghancur massal, dan melakukan terorisme, untuk semua tujuan politis. Israel memenuhi semua kriteria ini."

Seorang rabbi Yahudi yang tinggal di Amerika, Michael Lerner, editor di majalah Tikkun, menulis, "Semua ini membuat saya patah arang. Israel benar-benar bodoh. Sebagai seorang Yahudi yang relijius, saya melihat apa yang dilakukan oleh pemerintah Israel betapa begitu mudahnya mengubah nilai-nilai Judaisme menjadi pesan kebencian."

Barangkali, kecaman orang Israel terhadap Israel yang paling kejam datang dari Profesor Ilan Pappe, pengarang buku The Ethnic Cleansing of Palestine. "Zionisme adalah sebuah idelogi yang memakai pembunuhan etnik, pendudukan, dan sekarang pembantaian massal. Apa yang dihasilkan oleh Israel di Jalur Gaza bukan saja mengutuk atas apa yang dilakukan Israel tapi juga menghilangkan semua nilai ideologi Yahudi."

Zionisme, Pappe berdalih, telah diangkat menjadi sebuah ‘ideologi rasis dan hegemonik. Ini, tentu saja, bukan berita baru buat orang Palestina, ataupun pada bangsa Arab dan Muslim lainnya. "Mudah-mudahan," ujar Pappe, "suara kecaman dari seluruh dunia akan mengubah Israel bahwa ideologi ini dan semua yang telah dilakukannya merupakan suatu hal yang tidak bisa lagi ditoleransi dan tak bisa diterima. Israel akan diboikot dan terjerat sanksi."

Apa yang dikatakan oleh orang-orang Israel ini menyiratkan bahwa Israel telah menderita kekalahan dalam perang legitimasi. Dengan mengubah Gaza menjadi reruntuhan, meneror dan membantai warganya, bukan saja hanya merusak citra Israel tapi juga memperlihatkan moral dan politik Israel yang rendahan.

Pertanyaannya; mengapa Israel melakukan hal ini? Israel boleh saja mengklaim mengalami trauma masa lalu yang akut, namun perbuatan mereka kali ini sangat menganggu dan amoral. Israel benar-benar gila dan terlalu berlebihan dalam menderita paranoid akan keamanan mereka.

Sejak tahun 1948, lebih tepat sejak Deklarasi Balfour Inggris tahun 1917, para pemimpin Israel selalu mempersempit Palestina, dan mereka ketakutan akan proyek mereka ini. Yang menggelikan, Israel selalu bersikap bahwa tak ada ide dua negara dalam sejarah Palestina; Israel menghendaki semua wilayah Palestina. Sebagian pemimpin Israel, seperti Itzhak Rabin, membicarakan perdamaian, namun tak ada satupun realisasinya. Siapapun partai yang berkuasa di Israel, baik Partai Buruh, Likud atau yang sekarang, Kadima, sama sekali tak ada perbedaan.

Sekarang, perang Gaza telah menenggelamkan semua harapan orang Yahudi akan adanya dua negara. Apa gerangan sekarang yang bisa menjadi alternatif? Jelas sekali, mereka ingin menimpakan semua kesalahan kepada Mesir yang tak mau membuka perbatasan Rafah. Ariel Sharon, mantan Perdana Menteri, menarik semua kaum Yahudi dari Gaza pada tahun 2008 untuk konsentrasi di Tepi Barat. Ide ini masih terus ada sekarang. Sekarang, para Yahudi Tepi Barat telah menjadi banyak dan mereka menginginkan lebih banyak lagi tanah Palestina.

Bisakan Barack Obama menghentikan kecenderungan ini? Hillary Clinton, calon Menteri Luar Negeri AS telah mengatakan bahwa visi dua negara antara Israel dan Palestina tidak begitu saja diabaikan. Kita sudah mendengar ini sebelumnya.

Tapi Hillary menegaskan bahwa AS tetap akan memberantas Hamas, dan ini menjadi kesalahan pertama pemerintahan AS yang baru yang belum lagi memulai kinerjanya. Bagaimana AS mengharapkan kombinasi dua negara dalam satu wilayah sementara AS tak mau mendengarkan satu pihak lainnya?

Patrick Seale/dah