Politik Cakaran Ayam

Eramuslim.com – Di dunia konstruksi, teknik “cakar ayam” sudah lama ditemukan. Penemunya adalah Prof Dr Ir Sedijatmo. Tahun 1961. Teknik ini menghapus frustrasi pembangunan gedung beton bertingkat di atas tanah lembut atau rawa-rawa.

Sebagai gambaran singkat, teknik pondasi cakar ayam menggunakan kerangka besi pelat yang di bawahnya diperkuat oleh tancapan pipa-pipa beton. Lazimnya mirip bentuk cakar ayam. Cara ini mampu menahan tekanan turun yang berbeda-beda akibat bobot bangunan, dst. Cukup ruwet bagi saya yang tak paham ilmu konstruksi.

Secara tak sengaja, rupanya, teknik “cakar ayam” sedang teradopsi ke dunia politik Indonesia. Tetapi, cakar ayam di sini lebih pas disebut “cakaran ayam” bukan “cakar ayam”.

Ada kemiripan kondisi ketika Prof Sedijatmo menciptakan teknik cakar ayam dengan kondisi “politik cakaran ayam” era Jokowi pasca-pilpres 2019. Kemiripan kondisi itu terletak pada kata “lembek”. Sang Profesor menghadapi masalah “tanah lembek” ketika mau membuat pondasi di kawasan rawa-rawa. Sedangkan Jokowi menghadapi masalah “alas kekuasaan yang lembek” setelah dimenangkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Jokowi dan partai pendukung terbesar, PDIP (khususnya Ketum Megawati), merasa ada yang mengganjal. Alas kemenangan Jokowi dirasakan lemah (lembek). Mirip tanah lembut untuk pondasi gedung. Yang membuat Prof Sedijatmo berpikir keras menciptakan teknik cakar ayam.