Pri Sulisto dan Tidak Pedulinya Jokowi Pada Skenario Lepasnya Irian Dari NKRI

derek manangka
Derek Manangka

Eramuslim.com – PRI Sulisto dan Potensi Lepasnya Papua dari NKRI. Mungkin para pembaca dan sahabatku di Facebook, agak kaget dan bertanya-tanya ada apa gerangan dengan Pri Sulisto, siapa dia dan maunya apa tentang Papua.

Yah, Pri Sulisto memang bukan publik figur yang high profile. Dia juga tidak duduk dalam pemerintahan. Sehingga kalau hal ini yang menjadi ukuran, pembaca, sahabat Facebook bisa tidak peduli pada topik soal Papua dan kegelisahan Pri Sulisto.

Tetapi bagi saya, Pri Sulisto tidak sekedar sahabat dan orang swasta yang tanpa peran – seperti peran birokrat yang mengurus negara. Pri Sulisto mungkin bisa dikategorikan sebagai warga swasta yang telah berbuat hal yang konkrit bagi bangsa dan negaranya, tanpa gembar-gembor.

Hanya saja karena sifatnya – seperti kebanyakan warga Indonesia keturunan Jawa, Solo khususnya, Pri lebih suka tidak memamerkan apa yang dikerjakannya.

Tahun 2007 misalnya, tepatnya 12 September, Indonesia mendapatkan hadiah Medali Demokrasi dari Asosiasi Persatuan Konsultan Politik Se-dunia. Pemberian hadiah merupakan keputusan pleno asosiasi yang menggelar penilaian tentang pelaksanaan demokrasi di seluruh dunia, pada sidangnya tahun 2005 di Spanyol.

Medali Demokrasi itu diterimakan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Hotel Grand Hyatt, Nusa Dua Bali.

Medali Demokrasi itu diberikan oleh para konsultan politik sedunia, karena mereka menilai Indonesia di tahun 2004 berhasil menggelar Pemilu Presiden secara langsung untuk pertama kalinya. Dan Pemilu itu berlangsung aman. Tanpa protes dari kandidat presiden yang gagal, demikian pula tanpa anarki dari para pendukung yang kalah.

Itulah salah satu perjuangan diplomasi yang dilakuan Pri Sulisto.

papua_opmNah yang saya catat, peran Pri Sulisto sebagai Presiden Asosiasi Konsultan Politik Se-Asia Pasifik itu didalam memperjuangkan keterpilihan Indonesia, tak dilihat oleh banyak orang.

Tidak ada yang menganggap apa yang dilakukan Pri Sulisto sebagai sebuah pekerjaan relawan yang ikut mengangkat nama baik bangsa di panggung internasional.

Dan dampak dari penilaian tentang Indonesia itu, secara global, cukup positif. Paling tidak hingga beberapa tahun – selama pemerintahan SBY, Indonesia tetap dianggap sebagai negara yang sangat menghargai perbedaan pendapat. Negara yang unggul dalam penegakkan demokrasi.

Saya masih ingat bagaimana acara penerimaan gelar Medali Demokrasi itu diminta oleh Presiden SBY untuk digelar di Jakarta. SBY menghendaki agar acara itu digelar di Istana Merdeka, Jakarta. SBY ingin dilihat sebagai Presiden RI yang mendapat penghargaan dunia, sebagaimana asosiasi yang sama memberi penghargaan kepada Nelson Mandela dari Afrika Selayan dan tokoh buruh Polandia, Lech Walesa yang membebaskan negerinya dari politik represif ala komunis.

Pri secara santun menolak permintaan SBY dengan alasan, Medali Demokrasi itu diberikan untuk Rakyat Indonesia. Bukan kepada Presiden Republik Indonesia.

Bahwasanya Presiden SBY diminta asosiasi untuk menerima Medali Demokrasi, Presiden hanya sekedar sebuah simbol. SBY mewakili rakyat Indonesia. Akhirnya upacara pemberian gelar itu dilaksanakan di Bali antara lain untuk menghindari ‘politisisasi’.

Adanya acara itu, membuat SBY menggelar Rapat Kabinet lengkap di Bali. Selain rapat dengan para Menteri, Presiden SBY juga mengundang sejumlah Gubernur dan Walikota dari berbagai daerah untuk menyaksikan penerimaan hadiah Medali Demokrasi.

Saat ini Pri Sulisto masih aktif di asosiasi dunia itu dan terus melakukan pemantauan tentang demokrasi di Indonesia. Ia terus menjaga kontak dan komunikasi dengan para anggota asosiasi maupun pengamat politik dari berbagai negara.

Bendera_Israel_papua-2znu83hnhsczvc12brtt6oDari kontak dan komunikasi inilah yang membuatnya terganggu. Sebab dia mendengar kabar tentang skenario sejumlah negara maju tentang Papua. Bahwa sejumlah negara maju, sudah siap membantu warga Papua memerdekakan pulau itu dan tentu saja terpisah dari NKRI.

Pri merasa semakin terganggu, sebab sejauh yang dia tangkap, pemerintahan Presiden Joko Widodo, terkesan, tidak tanggap atas kabar tersebut. Tidak ada tanda-tanda bahwa pemerintah ataupun pejabat terkait, memiliki kepedulian atas kemungkinan Papua menjadi negara merdeka dalam waktu dekat.

Gangguan ini mengingatkannya pada pengalaman lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada tahun 1999. Situasinya hampir sama. Negara-negara maju sudah siap dengan agenda dan skenario bagaimana membantu melepaskan Timtim dari NKRI. Namun para petinggi di Jakarta sampai di Dili, hanya sibuk dengan urusan tetek bengek.

Pri prihatin dengan lepasnya Timor Timur. Sebab dia berpengalaman membantu pemerintah RI di Timor Timur. Antara lain mendirikan Radio FM, Loro Sae di Dili, ibukota Provinsi Timor Timur. Melalui radio itu, dibuatlah sejumlah program hiburan yang sekaligus ditumpangi pesan-pesan demi kepentingan persatuan dan kesatuan.

Tapi akhirnya Timtim lepas juga.

Mantan Asisten Menteri Pertahanan RI, Purnomo Yusgiantoro ini pekan lalu menelpon saya. Ingin berdiskusi mengenai berbagai hal. Tapi yang paling mendesak, kata Pri di ujung telepon adalah masalah Papua.

Pri tahu, saya termasuk wartawan yang banyak menulis tentang Papua. Artikel terakhir saya tentang Papua yaitu menyangkut kunjungan Dubes AS untuk Indonesia, Robert Blake, ke provinsi paling Timur di Indonesia itu.

Dalam artikel itu secara gamblang saya singgung soal hal-hal yang ibarat buah di pohon, yang sudah matang dan dengan mudahnya bisa dipetik.

Kondisi politis dan sosiologis Papua untuk menjadi sebuah negara merdeka, kurang lebih sama dengan buah yang sudah matang di pohon.

Pri risau akibat kesibukan, berbagai kejadian di Papua belakangan ini, sepertinya tak terpantau. Atau kalaupun dipantau, namun Jakarta tidak menganggap berbagai kejadian di Papua itu sebagai sebuah persoalan, apalagi ancaman disintegrasi.

Kesibukan yang dimakud antara lain, tingginya frekwensi lalu lintas pesawat asing yang membawa bantuan ke berbagai daerah di Papua. Pesawat asing ini rata-rata menggunakan status “Missionaris”, orang gereja yang membantu penduduk Papua agar memiliki agama.

Sementara yang terpantau oleh Pri, adalah para “Merchandaries”, sebuah istilah pengganti bagi para pedagang senjata. (red: mungkin yang dimaksudkan adalah Mercenaries)

Pesawat-pesawat yang membawa “missionaries” dan “merchandaries” tersebut masuk tak terkontrol oleh menara pengawas Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Pesawat-pesawat itu rata-rata terbang dari negara-negara tetangga.

Pri melihat pandangan pemerintah tentang OPM (Organisasi Papua Merdeka), tidak tegas dan tidak jelas. Menurut Pri, OPM jelas sebuah organisasi yang mau melakukan makar di Indonesia. Sudah semestinya UU tentang Makar tersebut diberlakukan.

Selain “missionaries” dan “merchandaries”, Pri juga mengkhawatirkan kebijakan pemerintah yang begitu longgar terhadap berbagai aktifis yang menggunakan bendera LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat).

Tidak ada semacam penyaringan yang berstandar terhadap para aktifis, termasuk pemantauan apa dan bagaimana kegiatan mereka selama berada di Papua.

Pri tidak melihat adanya kepedulian yang tinggi dari para pengelola negara ini terhadap penegakkan kedaulatan NKRI.

“Pemerintah memiliki hak penuh menetapkan peraturan bagi tegaknya kedaulatan negara di semua wilayah Indonesia. Tak perlu ragu menegakkannya”, ujar matan Ketua Perhimpunan Alumni Amerika Serikat ini.

Saya pun cukup galau mendengar semua penilaian Pri Sulisto tentang Papua.

“Ah sudahlah, saya sudah letih, saya mau pulang rumah saja. Kita berdua ini tokh bukan siapa-siapa”, ujar saya menutup pertemuan kami Selasa malam 5 April 2016, di kediamannya, Jl. Adityawarman, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

(Penulis: Derek Manangka, Wartawan Senior Indonesia/rmol)