Radikalisme: Dulu Sarung Kini Cadar dan Celana Cingkrang

Alhasil, kini presiden terkesan berkuasa mutlak.  Dia begitu bebas mengangkat siapa yang jadi pejabat dan menggantinya sesuai selera. Tanpa sadar muncul kesan politik ‘belah bambu’. Semua harus mengacu pada Nasakom. Siapa yang enggan —bahkan tak sepakat— diangap kontrarevolusi, budak barat dengan jargon: Amerika kita setrika Inggris kita linggis. Yang anti ‘Nasakom’ dianggap pula sebagai si-kepala batu yang harus disingkirkan. Sosialisme pasti jaya.

Dan jargon atau pomeo ‘waspada kepada kaum sarungan’ itu menggelak ke mana-mana. Siapa yang ditujunya? Saat itu semua paham yang disasar adalah kekuatan Islam politik, terutama para kader dan aktivis Masyumi yang baru dibubarkan. Mereka dituduh terus saja akan bergerilya agar bisa kembali ke Piagam Jakarta yang di sana ada frase ‘melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya’. Tak hanya itu mereka juga dituduh sebagai pelanjut gerakan bersenjata Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kartosuwirya yang dahulu teman kost Soekarno ketika tinggal di rumah HOS Cokroaminoto di sebuah rumah di bilangan Jalan Paneleh, Surabaya.

Kemudian selain Hersubeno siapa lagi yang paling getol menyerukan waspada kepada kaum sarungan? Jawabnya ada. Dia adalah Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI) DN Aidit. Pada masa itu, di depan acara hari ulang tahun PKI yang dihadiri ribuan massa yang memadati Stadion Gelora Senayan (sekarang gelora Bung Karno) Aidit dengan gagah menyerukan kembali pameo itu kepada kadernya. Dia mengatakankembali soal itu untuk menyindir kadernya bila tidak mampu membubarkan HMI yang dianggap seteru paling berbahaya organisasi sayap kaum mudanya: Pemuda Rakyat.

’’Lebih baik kalian pulang ganti pakai baju perempuan dan pakai sarung kalau tidak bisa bubarkan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Sangup !?,’’ kata Aidit ketika berpidato saat itu

Dan memang saat itu diam-diam antara Aidit dan Bung Karno terjadi perseketuan politik yang ganjil.  Meski keduanya beda paham, terlihat  saling memanfaatkan keadaan, yakni demi kelanggengan kekuasaan serta tujuan politik lainnya. Aidit pun sangat paham itu,  Bung Karno juga paham akan itu. Ini persis dengan jargon abadi politik: ‘Tak ada lawan dan kawan abadi dalam politik. Yang abadi hanya kepentingan!’

Adanya seruan waspada kepada kaum sarungan umat Islam pun siaga. Dari cerita para senior aktivis dan ketua umum PB HMI seperti Sulastomo dan Ridwan Saidi, mereka mengatakan saat itu memang melawan akan kecenderungan tuduhan pejoratif itu. Istilah katanya: mereka merapatkan barisan atas munculnya ‘udara politik kekuasaan’ yang tak kondusif. Mereka tahu jelas kepada siapa dan arah dari seruan ‘waspada terhadap  kaum sarungan’.